Jumat, 31 Agustus 2007

FILSAFAT

Karya Tulis

FILSAFAT ILMU DALAM PERSPEKTIF QUR’AN

(Tafsir Ulang Epistemologi)

















OLEH

JUNET HARYO SETIAWAN






HIMPUMAM MAHASISWA ISLAM CABANG PONOROGO KOMISARIAT EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2007

PENDAHULUAN


Di dalam Al Qur’an terdapat kata-kata tentang ilmu dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali, (Ali Audah, 1997: 278-279). Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui, mengerti. Maknanya, seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek atau fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya.

Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional ialah kesadaran tentang realitas. Pengertian ini didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berfikir rasional dalam menggapai kebenaran (QS. 17 : 36).

"Pengetahuan (‘ilm) boleh merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat "suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau boleh merupakan oppersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu" (Ibn Khaldun, 2000: 669).

"Ilmu itu harus dinilai dengan konkrit. Hanya kekuatan intelektual yang menguasai yang konkritlah yang kana memberi kemungkinan kecerdasan manusia itu melampaui yang konkrit" (Muhammad Iqbal, 1966, 129).

Menyimak dari pandangan Ibn Khaldun dan Iqbal tentang ilmu, dapat ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran akan hadir secara utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa berbeda atas suatu realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh dari suatu obyek terhadap subyek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh Iqbal dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit, yakni ilmu harus bisa terukur kebenarannya.

  • SUMBER ILMU

Jika ilmu diistilahkan sebagai kesadaran tentang realitas, maka realitas yang paling utama ketika manusia itu lahir adalah alam semesta (mikro kosmos dan makro kosmos). Di alam inilah manusia mulai mendengar, melihat dan merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa suara, bentuk dan perasaan. Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal untuk mengenal realitas terutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami kedewasaan dan sempurna akalnya, maka ia mulai berpikir tentang metarealitas, yakni suatu kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk mengurus proses-proses penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada. Atau dari mati menjadi hidup, kemudian dari hidup menjadi mati (QS.2: 28).

Kehadiran alam fisika sebagai realitas menjadi jembatan untuk melihat sesuatu yang bersifat metafisika yakni Yang Ada di balik fisik dan ciptaan-ciptaan itu. Keragaman alam semesta yang tak terhingga oleh manusia merupakan kenyataan-kenyataan yang tak bisa ditolak begitu saja tanpa argumentasi yang logis, yang berangkat dari kesadaran tentang realitas yang diperoleh dari pendengaran, penglihatan dan hati.

Dengan demikian manusia akan menyadari dengan sendirinya tentang kehariran alam semesta sebagai realitas fisika dan kehadiran Allah SWT sebagai realitas metafisika. Alam fisika sebagai realitas terbuka, sedangkan alam metafisika sebagai realitas tertutup. Alam semesta yakni mikro kosmos dan makro kosmos hadir sebagai realitas untuk mengukuhkan eksistensi Tuhan sebagai pemilik mutlak yang tak pernah punah, sedangkan alam semesta itu sendiri bisa punah sebagai suatu yang nisbi alias tidak kekal.

Alam semesta adalah sumber ilmu yang kedua yang merupakan ciptaan Allah SWT karena sebelum adanya alam semesta, Allah lebih dahulu ada yang tidak berpermulaan dan tak berakhir. Sedangkan alam memiliki permulaan dan masa akhir. Oleh karena itu ilmu dari Allah yang bersifat langsung bersifat absolut, sedangkan ilmu lewat alam semesta bersifat relatif.

"Menurut Al Qur’an, mempelajari kitab alam akan mengungkapkan rahasia-rahasianya kepada manusia dan menampakkan koherensi (keterpaduan), konsistensi dan aturan di dalamnya. Ini akan memungkinkan manusia untuk menggunakan ilmunya sebagai perantara untuk menggali kekayaan-kekayaan dan sumber-sumber yang tersembunyi di dalam alam dan mencapai kesejahteraan material lewat penemuan-penemuan ilmiahnya (Ghulsyani, 1990:54).

Al Qur’an sebagai kitab "tertutup" yang merupakan kondifikasi wahyu yang menurut teori-teori keilmuan yang tak terhingga penafsirannya sampai hari Qiyamat. Sedangkan alam semesta sebagai kitab "terbuka" yang tak terhingga pula untuk dieksperimen sampai hari Qiyamat. Dua sumber mata air (pengetahuan, ilmu dan teknologi), yang abadi dan tak pernah kering dalam konteks kehidupan keduniaan. Al Qur’an sebagai "kitab tertutup" dan alam semesta sebagai "kitab terbuka" saling memperkuat kedudukannya masing-masing. Artinya, Al Qur’an memuat informasi-informasi tentang material dan struktur alam semesta, sedangkan rahasia-rahasia alam semesta bisa kita cari informasinya lewat Al Qur’an dan alam semesta itu sendiri, karena Al Qur’an merupakan wahyu Allah dan alam adalah ciptaan Allah. Dengan demikian, realitas kebenaran bisa ditemukan di dalam Al Qur’an sekaligus juga bisa ditemukan pada alam semesta karena berasal dari satu sumber yakni Allah SWT Maha Kreatif alias Pencipta.

Selain alam semesta dan Al Qur’an, masih ada satu sumber lagi yakni Hadits yang berupa petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW, berdasarkan pemberitahuan atau aplikasi dari petunjuk wahyu kepada Nabi SAW terutama pengetahuan dan ilmu tentang tata cara beribadah mahdhah yang kita lakukan selama ini seperti; shalat, zakat, puasa, dan haji, lebih banyak kita mendapat model atau contoh langsung dari Rasulullah SAW, yang secara esensial tidak bisa diubah atau ditukar dengan cara-cara yang lain.

Di dalam kitab As-Sunnah Mashdaran li Al-Ma’rifah wa Al-Hadharah, dijelaskan bahwa "Sunnah merupakan sumber kedua setelah Al Qur’an bagi fikih dan hukum Islam. Sunnah juga merupakan sumber bagi da’wah dan bimbingan bagi seorang muslim, ia juga merupakan sumber ilmu pengetahuan religius (keagamaan), humaniora (kemanusiaan), dan sosial yang dibutuhkan umat manusia untuk meluruskan jalan mereka, membetulkan kesalahan mereka ataupun melengkapi pengetahuan eksperimental mereka" (Yusuf Al Qardhawy, 1997:101).



  • RASIONALITAS DAN SPIRITUALITAS DALAM ILMU

Berangkat dari kesadaran tentang realitas atas tangkapan indra dan hati, yang kemudian diproses oleh akal untuk menentukan sikap mana yang benar dan mana yang salah terhadap suatu obyek atau relitas. Cara seperti ini bisa disebut sebagai proses rasionalitas dalam ilmu. Sedangkan proses rasionalitas itu mampu mengantarkan seseorang untuk memahami metarsional sehingga muncul suatu kesadaran baru tentang realitas metafisika, yakni apa yang terjadi di balik obyek rasional yang bersifat fisik itu. Kesadaran ini yang disebut sebagai transendensi, di dalam firman Allah (QS. 3: 191), artinya:

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.

Bagi orang-orang yang beriman, proses rasionalitas dan spriritualitas dalam ilmu bagaikan keeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi yang lain merupakan satu kesatuan yang bermakna. Bila kesadarannya menyentuh realitas alam semesta maka biasanya sekaligus kesadarannya menyentuh alam spiritual dan begitupun sebaliknya.

Hal ini berbeda dengan kalangan yang hanya punya sisi pandangan material alias sekuler. Mereka hanya melihat dan menyadari keutuhan alam semesta dengan paradigma materialistik sebagai suatu proses kebetulan yang memang sudah ada cetak birunya pada alam itu sendiri. Manusia lahir dan kemudian mati adalah siklus alami dalam mata rantai putaran alam semesta. Atas dasar paradigma tersebut, memunculkan kesadaran tentang realitas alam sebagai obyek yang harus dieksploitasi dalam rangka mencapai tujuan-tujuan hedonistis yang sesaat. Alam menjadi laboratorium sebagai tempat uji coba keilmuan atheistic, di mana kesadaran tentang Tuhan atau spiritualitas tidak tampak bahkan sengaja tidak dihadirkan dalam wacana pengembangan ilmu. Orientasi seperti ini yang oleh Allah dikatakan dalam Al Qur’an, bukan untuk menambah kesyukuran dan ketakwaan, melainkan fenomena alam semesta yang diciptakan-Nya itu menambah sempurnanya kekufuran mereka (QS 17: 94-100)


  • FILSAFAT ADALAH ENERGI DAN ILMU ITU CAHAYA

Filsafat adalah pemikiran, sedangkan ilmu adalah ‘kebenaran’. Gampangnya, filsafat ilmu adalah pemikiran tentang kebenaran. Apakah benar itu benar? Kalau itu benar maka berapa kadar kebenarannya.? Apakah ukuran-ukuran kebenaran itu? Di mana otoritas kebenaran itu? Dan apakah kebenaran itu abadi?

Tujuan filsafat dan ilmu yakni sama-sama mencari kebenaran. Hanya saja filsafat tidak berhenti pada satu garis kebenaran, tetapi ingin terus mencari kebenaran kedua, ketiga dan seterusnya sampai habis energinya. Sedangkan ilmu kadang sudah merasa cukup puas dengan satu kebenaran dan bila ilmu itu disuntik dengan filsafat alias pemikiran maka ia kan bergerak maju untuk mencari kebenaran yang lain lagi.

Filsafat itu ibarat energi dan ilmu itu umpama mesin listrik. Jika energi dipasok ke turbin mesin, maka mesin akan bekerja menghasilkan setrum yang dipakai untuk menyalakan lampu yang memancarkan cahaya.

Filsafat dan ilmu bahu-membahu mengusung kebenaran, namun kebenaran filsafat dan kebenaran ilmu masih tetap saja bersifat relatif sebagai proses yang tidak pernah selesai. Maksudnya, bahwa kebenaran yang didapatkan oleh filsafat dan ilmu tak pernah selesai dan terus berproses dan menjadi, yang dalam hukum dialektika (Thesis, Antithesis, Sinthesis) dan seterusnya sebagai tanda bahwa manusia, pemikirannya dan ciptaannya bersifat relatif. Sedangkan kebenaran itu sendiri identik dengan Pencipta kebenaran. Oleh karena itu, yang Maha Benar hanyalah Allah SWT (QS 34: 48)

Dalm filsafat illuminasi, "Tuhan kosmos ini adalah Sumber Cahaya, yang dari-Nya wujud diri yang beradiasi memancarkan suatu cahaya yang menyingkap semua wujud, dan ketika tiada lagi dunia privasi, non-wujud, dan kegelapan bersanding dengan dosa. Menurut epistimologi illuminasi, pengetahuan diperoleh ketika tidak ada rintangan antara keduanya. Dan hanya dengan begitu, subyek mengetahui dapat menangkap esensi obyek" (Ziai, 1998: 13)

PENUTUP

Dalam konteks inilah, menurut hemat kami filsafat ilmu itu kiranya perlu dipelajari atau diajarkan di semua fakultas dan program studi khususnya di lengkungan UIKA, umumnya, di perguruan-perguruan tinggi, pada semester akhir untuk program S1 (sarjana). Karena filsafat ilmu bisa menjadi modal dasar untuk seorang calon sarjana, bagaimana cara ia mengaktualisasikan pemikirannya dalam menghadapi persoalan-persoalan keilmuan dan kehidupan dari tatanan teoritis sampai pada tataran aplikatif. Wallahua’lam bishshawab.

Daftar Pustaka

Abdul Azhim, Ali, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Islam, Penerj. Khalilullah A.M.H, Rosda, Bandung: 1984

Audah, Ali, Konkordasi Qur’an, Litera antar Nusa, Mizan, Bogor, Bandung: 1997

Beerling dkk., Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa Soedjono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta: 1986.

Departemen Agama RI., Al Qur’an dan Terjemahnya, Khadim Al-Haramain Asy-Syarifain, Madinah Munawarah: 1411 H.

Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, penerj. Agus Efendi, Mizan, Bandung: 1990.

Ha’iri Yazdi, Mehdi, Ilmu Hudhuri, penerj. Ahsin Mohamad, Mizan, Bandung: 1994.

Iqbal, Muhammad, Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah dkk, Tintamas, Jakarta: 1986.

Khaldun, Ibn, Mudaddimah, Penerj. Ahmadie Thaha, Pustaka Firdaus, Jakarta: 2000.

Kartanegara, Mulyadhi, Pengantar Epistemologi Islam, Mizan, Bandung: 2003.

Marasabessy, Yusra, (Kontributor), Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, Mizan, Bandung: 1987.

Qardhawy, Yusuf, As-Sunnah Sumber IPTEK dan Peradaban, penerj. Setiawan Budi Utomo, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta: 1998.

Syarif, M.M., (Editor), Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung: 1989.

Soemargono, Soedjono, Filsafat Pengetahuan, Nur Cahaya, Yogyakarta: 1983.

Ziai, Hossain, Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, Penerj. Afif Muhammad dan Munir, Zaman Wacana Ilmu, Bandung: 1990.



  • TERMINOLOGI FILSAFAT

... secara damai, apakah keduanya dapat bekerjasama atau bahkan saling bermusuhan satu sama lain. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan sebagai berikut:

Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.

Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.

Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:

Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.

Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.

Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.

Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.

Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya:

Aristoteles:

Manusia adalah animal rationale.
Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia

Tumbuhan = benda mati + hidup ----> tumbuhan memiliki jiwa hidup

Binatang = benda mati + hidup + perasaan ----> binatang memiliki jiwa perasaan

Manusia = benda mati + hidup + akal ----> manusia memiliki jiwa rasional

Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial.

Manusia adalah "makhluk hylemorfik", terdiri atas materi dan bentuk-bentuk. Berikutnya...

  • TERMINOLOGI

Ernest Cassirer: manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.

Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya, tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak menambahkan suatu kepercayaan baru. Bertrand Russel mencatat August Comte pernah mencobanya, namun ia gagal. "Dan ia patut bernasib demikian," demikian Russel.

Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.

Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini.

Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.

Demikianlah pemahaman yang kita miliki sekarang mengenai terminologi "filsafat" dan kedudukannya di antara ilmu dan agama.

  • A L I R A N

Dalam perjalanannya, problem yang dihadapi oleh manusia makin kompleks, sehingga membutuhkan jawaban yang kompleks pula. Jawaban yang diberikan terhadap suatu problem tidak selalu dapat tuntas, bahkan kadang-kadang hanya sebagian kecil darinya yang terjawab dengan baik. Karena latar belakang yang berbeda-beda, baik dilihat dari manusianya maupun tantangan atau problemnya, maka berakibat juga pada beragamnya bagaimana suatu jawaban diberikan.

Oleh karena itu, suatu problem yang sama, karena dilihat dari berbagai sudut dan arah, menimbulkan jawaban yang berbeda. Timbullah bermacam-macam aliran dalam filsafat.

Manusia memegang peranan yang penting dalam munculnya aliran-aliran dalam filsafat. Pada hakikatnya, karena ia mempunyai unsur kejiwaan, yaitu cipta, rasa dan karsa, maka setiap orang dapat menghasilkan filsafatnya sendiri. Namun pada sisi yang lain, kenyataan menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu yang dapat mengemukakan pendapat serta ajaran yang bernilai filsafati. Hambatan-hambatan yang ditimbulkan oleh kata dan susunan kalimat dalam suatu bahasa seringkali memaksa seorang filsuf untuk menyusun kalimat atau rangkaian kata baru semata-mata untuk bisa membuat representasi yang mendekati apa yang terkandung dalam pikirannya. Oleh karena filsafat merupakan hasil permenungan jiwa manusia yang terdalam, maka corak (sifat, khas) dalam tiap-tiap aliran tidak terlepas dari unsur-unsur yang menyusun manusia itu sendiri.

Corak yang sesuai dengan unsur jiwa dan raga:
Manusia terdiri atas jiwa dan raga, karenanya filsafat ada yang menintikberatkan atau mengagungkan jiwa atau memberi tempat yang tinggi kepada jiwa atau unsur-unsur dalam. Aliran yang termasuk jenis ini antara lain adalah:

Idealisme, yang memberi tempat tertinggi pada idea.

Spiritualisme, yang memberi tempat tertinggi pada jiwa.

Rasionalisme, yang memberi tempat tertinggi pada akal.


Sebaliknya, ada yang menempatkan unsur-unsur ragawi, unsur-unsur luar, sebagai yang tertinggi. Termasuk dalam aliran ini antara lain adalah:

Materialisme, yang memberi tempat tertinggi pada materi.

Empirisme, yang memberi tempat tertinggi pada pengalaman.

Sensisme, yang memberi tempat tertinggi pada panca indera.

Corak yang sesuai dengan sifat individu dan sosial:
Manusia memiliki sifat individu dan sosial, karena itu pengejawantahan dari sifat ini terlihat pula dalam corak aliran filsafat. Ada yang mengagungkan sifat individunya. Aliran yang termausk jenis ini antara lain adalah:

Individualisme, yang memberi tempat tertinggi pada individu.

Liberalisme, yang mengagungkan hak mutlak setiap individu.

Sebaliknya, ada yang mengagungkan sifat sosialnya. Termasuk dalam aliran ini adalah:

Altruisme, yang mengutamakan kepentingan orang lain semata-mata.

Sosialisme, yang mengutamakan kepentigan sosial lebih dari kepentingan individu.

Berikutnya...

Corak yang menyangkut hubungan manusia dengan "Yang Mahakuasa":
Dalam hal ini, aliran di dalam filsafat ada yang bercorak teistik, ada pula yang ateistik. Misalnya,
Tomisme memberi tempat yang tinggi kepada Tuhan, sedangkan Positivisme menolak teologi.

Corak perpaduan:
Karena ada aliran kefilsafatan yang menekankan atau mengagungkan salah satu unsur, maka terjadi jurang pemisah antara keduanya. Karena ada jurang pemisah itu, timbullah usaha untuk menghubungkan kedua sisinya yaitu dengan membuat jembatan. Beberapa contoh di antaranya adalah:

Immanuel Kant (lahir 1724 di Koningsbergen) berusaha menjembatani antara Rasionalisme dan Empirisme.

G.W.F. Hegel (lahir 1770 di Stuttgart) membuat jembatan antara pendapat Fichte dengan pendapat Friedrich Yoseph Schelling.
Sistem fichte adalah
idealisme subjektif, sedang Schelling adalah idealisme objektif. Jembatan yang dibuat oleh Hegel adalah idealisme absolut. Inilah bentuk metode dialektik Hegel yaitu Tesis-Antitesis-Sintesis. Karena Sintesis pada hakikatnya adalah suatu Tesis Baru, maka dari padanya akan timbul Antitesis baru, demikian pula akan timbul Sintesis Baru, dan seterusnya.

Pada bagian kali ini, kami akan mengangkat satu aliran filsafat yang sangat berpengaruh di Barat pada abad kedua puluh, terutama setelah selesainya Perang Dunia Kedua. Ialah "Eksistensialisme". Pembahasan berikut ini akan menjadi model pembahasan bagi aliran-aliran filsafat lainnya; di mana kami secara rutin akan menambahkan materi-materi baru dalam bagian ini, sehingga, mudah-mudahan, seluruh aliran filsafat, utamanya aliran-aliran yang besar, mendapat kesempatan untuk disajikan ke hadapan pembaca.

  • Eksistensialisme

Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi. Pohon mangga menjadi pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah peran eksistensia.

Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh, berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan. Adapun tanpa eksistensia, segala sesuatu tidak nyata ada, apalagi hidup dan berperan. Berikutnya...

  • A L I R A N

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada. Karena memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah harimau. Manusia adalah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran tentang eksistensia. Dengan mencari cara berada dan eksis yang sesuai, esensia pun akan ikut terpengaruhi. Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optima. Untuk manusia, ini berarti bahwa dia tidak sekadar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan kemungkinaan yang dapat dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, menurut kaum eksistensialis, hidup ini terbuka. Nilai hidup yang paling tinggi adalah kemerdekaan. Dengan kemerdekaan itu, keterbukaan hidup dapat ditanggapi secara baik. Segala sesuatu yang menghambat, mengurangi, atau meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib, peraturan, hukum harus disesuaikan atau, bila perlu, dihapus dan ditiadakan. Karena adanya tata tertib, peraturan, hukum dengan sendirinya sudah tak sesuai dengan hidup yang terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu membuat orang terlalu melihat ke belakang dan mengaburkan masa depan, sekaligus membuat praktik kemerdekaan menjadi tidak leluasa lagi.

Dalam hal etika, karena hidup ini terbuka, kaum eksistensialis memegang kemerdekaan sebagai norma. Bagi mereka, manusia mampu menjadi seoptima mungkin. Untuk menyelesaikan proyek hidup itu, kemerdekaan mutlak diperlukan. Berdasarkan dan atas norma kemerdekaan, mereka berbuat apa saja yang dianggap mendukung penyelesaian proyek hidup. Sementara itu, segala tata tertib, peraturan, hukum tidak menjadi bahan pertimbangan. Karena adanya saja sudah mengurangi kemerdekaan dan isinya menghalangi pencapaian cita-cita proyek hidup. Sebagai ganti tata-tertib, peraturan, dan hukum, mereka berpegang pada tanggung jawab pribadi. Mereka tak mempedulikan segala peraturan dan hukum, dan tidak mengambil pusing akan sanksi-sanksinya. Yang mereka pegang adalah tanggung jawab pribadi dan siap menanggung segala konsekuensi yang datang dari masyarakat, negara, atau lembaga agama. Satu-satunya hal yang diperhatikan adalah situasi. Dalam menghadapi perkara untuk menyelesaikan proyek hidup dalam situasi tertentu, pertanyaan pokok mereka adalah apa yang paling baik yang menurut pertimbangan dan tanggung jawab pribadi seharusnya dilakukan dalam situasi itu. Yang baik adalah yang baik menurut pertimbangan norma mereka, bukan berdasarkan perkaranya dan norma masyarakat, negara, atau agama.

Segi positif yang sekaligus merupakan kekuatan dan daya tarik etika eksistensialis adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup, penghargaan atas peran situasi, penglihatannya tentang masa depan. Berbeda dengan orang lain yang berpikiran bahwa hidup ini sudah selesai, yang harus diterima seperti adanya, dan tak perlu diubah, etika eksistensialis berpendapat bahwa hidup ini belum selesai, tidak harus diterima sebagai adanya, dan dapat diubah, bahkan harus diubah. Ini berlaku untuk hidup manusia sebagai pribadi, masyarakat, bangsa, dan dunia seanteronya. Dalam arti itulah hidup dimengerti sebagai proyek. Orang yang memandang hidup sebagai sudah selesai, mempunyai sikap pasrah dan "menerima", sementara kaum eksistensialis yang memahami hidup sebagai belum selesai mempunyai sikap berusaha dan berjuang. Hidup ini perlu dan harus diperbaiki. Faktor penting untuk perbaikan hidup itu adalah tanggung jawab. Setiap orang harus bertanggungjawab atas hidupnya dan dengan sungguh-sungguh berupaya untuk mengembangkannya. Bagi orang yang merasa hidup sudah jadi, situasi hidup menjadi sama saja. Tidak ada situasi penting, mendesak, atau genting. Karena hidup selalu berjalan normal. Namun, bagi kaum eksistensialis yang memahami hidup belum selesai, setiap situasi membawa akibat untuk kemajuan kehidupan. Oleh karena itu, setiap situasi perlu dikendalikan, dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi keuntungan bagi kemajuan hidup. Akhirnya, bagi orang yang menerima hidup sudah sampai titik dan puncak kesempurnaannya, masa depan tidak amat berperan karena masa depan pun keadaannya akan sama saja dengan masa yang ada sekarang. Namun, bagi kaum eksistensialis yang belum puas dengan hidup yang ada dan yang merasa perlu untuk mengubahnya, masa depan merupakan faktor yang penting. Karena hanya dengan adanya masa depan itu, perbaikan hidup dimungkinkan dan pada masa depan pula hidup baik itu terwujud. Dengan demikian, gaya hidup kaum eksistensialis menjadi serius, dinamis, penuh usaha, dan optimis menuju ke masa depan. Berikutnya...

  • A L I R A N

Namun, oleh pandangan-pandangan yang terkandung di dalam dirinya, segi-segi positif etika eksistensialis itu menjadi berkurang positifnya. Kelemaham-kelemahan etika eksistensialis dapat disebut beberapa. Pertama, etika eksistensialis terperosok ke dalam pendirian yang individualistis. Dengan pendirian itu, di bawah nama melaksanakan proyek hidup, bisa-bisa para pengikut aliran eksistensialis hanya mencari dan mengejar kepentingan diri. Karena yang baik ditentukan sendiri, bukan berdasarkan norma, maka yang dianggap baik bukanlah kebaikan sejati, melainkan baik menurut dan bagi diri mereka sendiri. Cara memandang kebaikan yang individualistis itu dapat merugikan sesama, masyarakat dan dunia.

Kedua, dengan mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi manusia yang anti-sosial. Tidak dapat disangkal bahwa ada norma masyarakat yang sudah usang. Namun, menyatakan segala norma tak berlaku sungguh melawan akal sehat. Karena norma masyarakat merupakan hasil perjalanan pencarian yang tidak begitu saja mudah ditiadakan. Jika tidak dapat dipergunakan sepenuhnya, paling sedikit masih dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan titik tolak pencarian nilai hidup lebih lanjut. Kecuali itu, sikap para penganut aliran eksistensialis yang asosial merugikan usaha perbaikan hidup dan dunia. Karena usaha itu merupakan usaha raksasa sehingga tidak dapat diselesaikan secara perorangan, melainkan harus digarap bersama seluruh masyarakat.

Ketiga, dengan mengambil sikap bebas merdeka, kaum eksistensialis memandang kemerdekaan sebagai tidak terbatas. Padahal, dalam hidup ini tidak ada kemerdekaan yang tanpa batas. Karena dalam perwujudannya selalu akan dibatasi. Pembatasan itu berasal dari si pelaksana sendiri dan masyarakat. Seberapa "hebat"-nya manusia, tidak mungkinlah dia mampu mewujudkan kemerdekaannya secara penuh. Pembatasan juga datang dari masyarakat. Selama orang hidup dakam masyarakat, pelaksanaan kemerdekaan akan selalu dibatasi oleh pelaksanaan kebebasan orang lain. Mau tidak mau, dalam hidup masyarakat orang harus mau "memberi" dan "menerima", alias berkompromi.

Keempat, kaum eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namun, situasi itu mudah goyah. Kelemahan ini masih diperkuat oleh sikap individualistis yang dipegang kaum eksistensialis. Bila orang bersandar pada situasi dan diri sendiri saja, pandangannya menjadi terbatas, lingkup perbuatannya dipersempit, dan pendiriannya rapuh. Begitulah, etika eksistensialis memiliki unsur-unsur kebaikan yang positif. Namun, bila tak mengurangi dan melepaskan kelemahan-kelemahannya, eksistensialisme akan melemahkan arti dan sumbangan-sumbangannya yang memang berharga.

Nama "eksistensialisme" memang hanya disenangi oleh Jean-Paul Sartre. Filsuf-filsuf lain dari aliran ini lebih senang disebut "filsuf-eksistensi". Di antara mereka adalah S. Aabye Kierkegaard (1813-1855), Friedrich Nietzsche (1844-1900), Karl Jaspers (1883-1969), Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1973) dan M. Merleau-Ponty (1908-1961). Beberapa dari mereka nanti akan dibahas secara khusus di bagian Filsuf, Hidup dan Karyanya situs ini.



BAGIAN TIGA:

CABANG ILMU DAN CINTA KEALIMAN

Pekan VII

  • Filsafat Ilmu

19. Apakah Kealiman Itu?

Saya akan mengawali kuliah ini dengan memberi anda ikhtisar singkat isi buku yang saya sebut di akhir kuliah yang lalu, Jonathan Livingston Seagull, untuk kepentingan sebagian dari anda yang belum berkesempatan membacanya. Setelah itu, saya ingin mendengar jawaban dari anda yang sudah membaca cerita tersebut terhadap tiga pertanyaan berikut ini:

1) Dalam cerita ini, kata terbang melambangkan apa?

2) Mengenai perburuan kealiman, cerita ini mengatakan apa?

3) Ke mana Jonathan pergi di Bagian Dua?

Akhirnya, saya akan mengakhiri kuliah pada jam ini dengan menjelaskan bagaimana beberapa pelajaran yang terkandung dalam cerita ini berhubungan dengan berbagai persoalan yang akan kita periksa pada bagian ketiga dari matakuliah ini.

Buku kecil tersebut, Jonathan Livingston Seagull, mengisahkan seekor burung yang aneh—burung camar, seperti yang ditunjukkan oleh judulnya. Pada mulanya, burung yang bernama Jonathan ini melakukan eksperimen berbagai cara terbang. Sementara semua kawannya menggunakan keterampilan terbang mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam hidup mereka, Jonathan memandang bahwa terbang merupakan keterampilan yang harus dituntut demi cara terbang itu sendiri. Akan tetapi, ketika ia menguji-coba metode barunya untuk terbang dengan kecepatan tinggi, pemimpin-pemimpin kawanannya terusik, yang menanggapinya dengan mengasingkan dia ke “tebing-tebing yang jauh”. Setelah ia tinggal lama sendirian, dua ekor burung misterius datang dan membawanya ke tempat lain. Di Bagian Dua, Jonathan belajar tentang cara terbang baru yang tidak berfokus pada sayap dan bulu, tetapi pada pikiran dan imajinasi. Ia jauh lebih cepat daripada semua burung lain di dunia baru ini, ketika tiba-tiba ia memutuskan bahwa ia harus kembali ke dunia lamanya. Jadi, ia pulang ke tebing-tebing yang jauh tersebut. Kemudian bagian ketiga dan terakhir dari kisah ini menceritakan bagaimana ia mengumpulkan beberapa burung buangan [seperti dirinya] dan mulai mengajari mereka cara terbang dan cara memahami penerbangan. Tidak lama setelah mereka mempelajari beberapa keterampilan dasar, murid-muridnya bersama-sama dengan Jonathan pulang ke kawanan lamanya, yang dulu membuang mereka. Di situlah mereka menyelenggarakan kursus di pantai, dan akhirnya sebagian dari burung-burung dari kawanan lamanya menunjukkan minat untuk mempelajari cara terbang. Ketika mereka mulai belajar demi mereka sendiri, Jonathan membiarkan mereka tetap mandiri.

Nah, mari kita awali dengan pertanyaan pertama. Untuk melambangkan apa penerbangan dalam cerita itu? Siapa yang punya pandangan tentang hal ini? Omong-omong, jangan mengatakan “pencarian kealiman”, karena itu terlalu gamblang. Telah saya katakan, saya ingin kita memandang keseluruhan cerita itu lantaran memberi kita wawasan menuju pencarian kealiman; jadi, sekarang saya ingin [jawaban] kalian lebih spesifik. Kemudian, dalam pembahasan atas pertanyaan kedua, kita dapat mencoba menerapkan hal-hal yang kita pelajari dari simbolisme penerbangan pada persoalan hakikat mencintai kealiman.i[1] Nah, siapa mau menjawab lebih dahulu?

Mahasiswa N. “Kebebasan.”

Ya, saya kira itu tempat yang baik untuk bertolak. Bahkan tanpa membaca kisah itu, kita bisa menduga bahwa ini merupakan bagian dari simbolisme yang dimaksudkan, karena mengasosiasikan penerbangan burung dengan kebebasan itu cukup lazim. Barangkali ini merupakan bagian dari alasan pengarangnya yang lebih memilih menulis dongeng tentang burung daripada ikan atau anjing, misalnya. Cerita itu sendiri menguatkan hal ini dengan menuturkan betapa Jonathan memandang bahwa dirinya bebas dari hal-hal yang menjebak camar-camar lain menuju kehidupan yang sia-sia dan menyedihkan, seperti nafsu makan, keberterimaan, dan kekuasaan politik. Ketika ia belajar terbang, ia juga belajar untuk semakin membebaskan diri dari jebakan semacam itu; dan dalam melakukannya, ia belajar mengarungi hidup yang benar-benar maknawi. Di Bagian Dua ia bahkan belajar membebaskan diri dari kecenderungannya yang sudah berlangsung lama yang memandang bahwa terbang harfiah (yakni terbang dengan tubuh fisiknya) merupakan tujuan hidupnya yang terdalam.

Akan tetapi, kata “kebebasan” hampir menyerupai kata “kealiman” yang sulit dipahami. Jadi, adakah di antara kalian yang menemukan gelagat lain di cerita ini yang dapat membantu kita dalam memahami apakah kebebasan itu? Apa yang harus dilakukan oleh Jonathan supaya memperoleh wawasan tentang hakikat kebebasan?

Mahasiswa O. “Bagi saya, Jonathan tampaknya mencari hal-hal yang tidak diketahui. Dan ini selalu menuntut dia untuk menerobos batas-batas yang sebelumnya telah dipasang olehnya atau oleh burung-burung lainnya.”

Bagus sekali. Saya setuju bahwa unsur dari sesuatu yang tak diketahui itu memainkan peran penting di keseluruhan cerita tersebut. Jonathan berniat memburu tujuannya walaupun tampaknya ia tak pernah tahu apa kira-kira pelosok berikutnya—setidak-tidaknya sebelum ia kembali ke kawanannya di Bagian Tiga. Seperti kata anda, pencarian “kecepatan sempurna”-nya pada kenyataannya merupakan pencarian yang tak bisa tercapai. Akibatnya, secara paradoksis, ia mampu mencapai tujuannya hanya jika ia mau mengakhiri pandangan konvensionalnya mengenai bagaimana hal itu bisa dicapai, terutama asumsinya bahwa hal itu akan bisa dicapai dengan menggunakan “sayap dan bulu”. Begitu pula, saya pikir anda telah memilih kata-kata yang baik dengan tepat ketika anda mengatakan ia selalu “menerobos batas-batas …”. Pada faktanya, salah satu alasan mengapa penerbangan burung melambangkan kebebasan adalah bahwa burung-burung tampaknya telah menemukan rahasia pendobrakan rantai-rantai hukum gravitasi, yang membelenggu kita manusia di bumi dengan kencang. Lagipula, cerita itu sendiri menanamkan kesan bahwa penerobosan tapal batas lama merupakan salah satu kunci yang mendasar untuk menyelidiki diri sendiri. Apakah kalian memperhatikan bahwa, di Bagian Satu, Jonathan pada aktualnya mengacu pada salah satu penyelidikan utamanya mengenai penerbangan sebagai “penerobosan”? Lalu, di Bagian Dua, penemuannya bahwa “penerbangan” merupakan imajinasi itu bukan saja merupakan penerobosan tingkat keterampilannya, melainkan juga penerobosan pemahamannya. Adapun kepulangannya ke kawanannya di Bagian Tiga pun melambangkan sejenis penerobosan lain, yang juga berkaitan dengan simbolisme penerbangan sebagaimana yang dihadirkan di kisah tersebut.

Adakah yang memperhatikan bagaimana penerobosan Jonathan yang terakhir memberi kita cara lain untuk menjelaskan simbolisme penerbangan?

Mahasiswa P. “Kembalinya ia ke kawanannya pada akhir cerita tampaknya seperti tindakan pengorbanan nyata. Padahal, ia bisa terus belajar jauh lebih banyak jika ia tetap tinggal! Bisakah penerbangan melambangkan jenis pengorbanan diri?”

Memang bisa. Ingat, Jonathan banyak berkorban di awal cerita hanya untuk memulai pencarian kecepatan sempurna. Pada faktanya, ide ini diungkapkan dengan tepat di salah satu dari pasal favorit saya di keseluruhan buku ini, namun dengan kata-kata yang berbeda dengan yang anda pakai. Tepat seusai Jonathan melakukan penerobosan awalnya di Bagian Dua, gurunya, Chiang, berkata bahwa ia akan segera siap untuk mulai mengerjakan hal yang “paling sulit, paling bertenaga, dan paling kuat di antara semuanya. Engkau akan siap untuk mulai terbang melayang dan mengetahui makna kebaikan hati dan cinta” (JLS 83). Begitu pula, kata-kata terakhir Chiang kepada Jonathan adalah “timbulkan cinta selalu” (84). Jonathan memperlihatkan bahwa ia mulai mempelajari pelajaran ini ketika ia sendiri menjadi guru, pada mulanya selaku pengganti Chiang, dan kemudian, Di Bagian Tiga, bagi camar-camar yang memunggungi tebing-tebing yang jauh. Namun ia baru sepenuhnya menunjukkan betapa baik pelajaran “terbang melayang”-nya ketika pada aktualnya ia pulang ke kawanan lamanya yang pernah mengusirnya.

Pelajaran penting lain apa yang bisa kita pelajari dari simbol penerbangan? Di suatu kelas filsafat, salah satu jawaban gamblang, yang diusulkan oleh beberapa mahasiswa saya terdahulu, adalah bahwa penerbangan bagi burung bersesuaian dengan pemikiran, atau mungkin pemahaman-diri, bagi filsuf. Salah satu kemungkinan lain adalah bahwa keseluruhan cerita itu mengenai proses belajar pada umumnya, bagian dari kebebalan akan pengetahuan, yang tentu saja juga merupakan salah satu dari tema-tema utama yang kita kembangkan [sedikit demi sedikit] di matakuliah ini. Sebelum kita berlanjut ke pertanyaan kedua, apakah di antara kalian ada yang punya pandangan lain?

Mahasiswa Q. “Saya pikir, penerbangan melambangkan kesempurnaan karena cerita tersebut beberapa kali menyebut ‘kecepatan sempurna’. Kendati kita tak dapat terbang, kita bisa berupaya untuk menjadi sempurna dalam hal-hal yang dapat kita usahakan.”

Mungkin begitu, tetapi saya rasa kita harus waspada agar tidak salah paham akan jenis “kesempurnaan” yang dibicarakan.ii[2] Saya tidak memandang bahwa kata tersebut hanya mengacu pada yang benar atau yang baik sepanjang masa, kecuali, biarpun kadang-kadang bertentangan dengan “hukum sejati”, yakni “kebebasan”, kalau Jonathan berkewajiban mengikuti “Hukum Kawanan” (JLS 114). Betapapun, kesempurnaan itu amat sangat ideal untuk ditetapkan bagi diri sendiri. Apakah anda pikir pencarian kesempurnaan oleh Jonathan itu membuat dia baik? Apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman-pengalamannya?

Mahasiswa Q. “Ya, tanpa tujuan itu, saya tidak menganggap bahwa kehidupan Jonathan amat maknawi. Saya rasa penerbanganlah yang menjadikan kehidupan Jonathan bermakna.”

Jadi, penerbangan bukan sekadar melambangkan pencarian kesempurnaan, melainkan pencarian jenis kesempurnaan yang bisa menganugerahkan makna nyata pada kehidupan duniawi kita secara lain. Ya, saya rasa itulah salah satu inti keseluruhan isi buku ini. Tidak setiap hal bisa berfungsi dengan jalan itu, dan ini berarti kita harus sangat berhati-hati dalam memilih obyek yang kita jadikan pencarian kehidupan kita. Jonathan sendiri, seperti yang telah saya katakan, mengubah cara pandangnya terhadap penerbangan beberapa kali di sepanjang cerita tersebut; setiap datang perubahan tersebut, keikutsertaan [Jonathan] dalam realitas maknawi semakin mendekati pencapaian tujuan terdalamnya.

Kita pada aktualnya telah mulai menjawab pertanyaan kedua, yaitu mengenai pelajaran-pelajaran khas cerita ini yang bisa mengajarkan perburuan kealiman kepada kita. Segala ihwal yang disebut sejauh ini berimplikasi bagi pertanyaan kedua; ihwal-ihwal tersebut mestinya cukup jelas tanpa perlu disinggung lagi. Jadi, sebagai ganti terhadap pengulangan hal-hal yang telah kita sebut, mari kita perhatikan apakah dari cerita itu kita bisa menarik wawasan lebih lanjut tentang hakikat kealiman. Jika kita mengasumsikan bahwa keseluruhan cerita itu mengenai sebuah perburuan kealiman individual, maka pelajaran apa yang bisa kita petik?

Mahasiswa R. “Mereka yang benar-benar serius dalam memburu kealiman mungkin menjalani kehidupan dengan sulit dan sendirian.”

Mengingat pengalaman Jonathan, kata-kata anda itu tentu terlihat benar. Malahan, mereka mungkin juga disalahpahami oleh yang lain. Jonathan disalahpahami tidak hanya di Bagian Pertama, oleh anggota-anggota kawanannya, tetapi juga di Bagian Dua oleh Sullivan temannya, dan di Bagian Tiga oleh sebagian muridnya. Namun harus kita ingat bahwa kesulitan yang disebabkan oleh kesukaran semacam itu, dalam ertian tertentu, “mudah” ditangani bagi mereka yang memandang tinggi tujuan perburuan kealiman. (Omong-omong, ini mirip dengan klaim Yesus—kendati banyak “kata keras” yang ia pakai untuk memerikan mereka yang menyaksikan “kerajaan Allah”—bahwa barangsiapa yang mengikuti kerajaan surgawi ini akan mendapati bahwa “Pikulanku nyaman, dan bebanku ringan” [Matt. 11:30]!) Jonathan ialah pelajar yang semacam ini karena ia tidak membiarkan beban yang sejelas itu membebani dia sepanjang waktu. Secara demikian pula, walaupun kehidupan orang yang memburu kealiman tampaknya terpencil menurut standar umum kita, cerita itu sendiri mengatakan bahwa Jonathan “menjalani kehidupan cerah yang lama” di tebing-tebing yang jauh; dan tak pelak, alasannya adalah bahwa kesulitan-kesulitannya [justru] mencucinya dari “kebosanan dan kekhawatiran dan kemarahan”, inilah “alasan-alasan bahwa kehidupan camar amat singkat” (JLS 41). Jika cerita itu berlaku untuk kehidupan nyata, maka segala kesulitan, kegagalan, dan penderitaan yang jelas-terlihat itu merupakan harga yang bernilai tinggi: tanpa itu semua, mustahil ada penerobosan.

Mahasiswa S. “Pencarian Jonathan tampaknya sinambung, kalau bukan tanpa akhir; ia memerlukan kekuatan kehendak untuk setia kepada tugas ini. Saya duga begitu pula untuk perburuan kealiman.”

Ya, memang. Namun apa yang memberi kita kekuatan untuk setia kepada tugas yang tanpa akhir semacam itu? Apa yang mencegah kita dari kehilangan harapan dan dari menyerah dalam keputusasaan? Apakah cerita itu memberi kita suatu isyarat [dalam hal ini]?

Mahasiswa S. “Saya percaya Jonathan mampu melanjutkan perburuan tujuannya semata-mata lantaran ia mampu melihat matra yang melampaui ruang dan waktu.”

Ini ihwal yang sangat penting. Namun pada aktualnya, jawaban itu membawa kita langsung ke pertanyaan ketiga; jadi, sebelum saya mengomentari jawaban anda, adakah pandangan-pandangan lain mengenai di manakah tempat asing yang dituju oleh Jonathan di Bagian Dua?

Mahasiswa T. “Tidakkah cerita itu mengatakan ia pergi ke surga? Saya mendapat kesan bahwa Jonathan dikira mati di akhir Bagian Satu, dan kedua camar [yang membawanya itu] seperti malaikat yang membawanya ke surga.”

Saya tidak terkejut cerita itu memberi anda kesan ini. Memang, tentu saja ini merupakan salah satu interpretasi yang bolehjadi, khususnya karena Jonathan sendiri pada aktualnya menafsirkan tempat barunya dengan cara ini pada awal-mula Bagian Dua, ketika ia berkata dalam hati “Jadi, inilah surga …” (JLS 57). Namun demikian, tidak lama kemudian (64), setelah menyadari bahwa ia belum mencapai tujuan akhirnya, Jonathan menanyai Chiang “dunia ini bukan surga sama sekali, bukan?” dan Chiang menjawab “tiada tempat semacam itu. Surga bukan tempat dan bukan waktu. Surga adalah kesempurnaan.” Sayangnya, ketika Chiang baru saja menjelaskan dengan lebih rinci apa sebenarnya surga itu, Jonathan menyela dia (79)—namun bukan sebelum Chiang berkesempatan untuk memberi tahu Jonathan bahwa kesempurnaan itu sangat berkaitan dengan cinta.

Jika tempat yang dituju oleh Jonathan di Bagian Dua bukan surga, karena cerita itu menggambarkan surga lebih sebagai keadaan, maka di manakah tempat itu? Atau, dengan kata lain, tempat itu melambangkan apa bagi kita?

Mahasiswa U. “Bagaimana mengenai ‘diri’ atau ‘benak’?”

Ini merupakan salah satu cara pandang yang baik, namun saya lebih suka mengatakan ia pergi menuju imajinasinya. Ini karena ia mampu melakukan hal-hal di tempat itu yang hanya bisa kita lakukan dalam imajinasi kita. Pada faktanya, salah satu gagasan utama Bagian Dua tampaknya adalah bahwa imajinasi itu sama nyatanya dengan bagian-bagian dari benak kita yang memberi kita pengetahuan tentang alam eksternal. Akan tetapi, betapapun kita hendak menafsirkan tempat itu, ini pastilah tempat yang dimensinya melampaui ruang dan waktu, dan tempat ini pasti lebih mudah kita jangkau daripada sebagian besar dimensi waktu. Jadi, jika kita mengatakan bahwa dalam Bagian Satu, Jonathan mendapati peti harta karun di dalam dirinya sendiri, tetapi peti ini masih terkunci, maka Bagian Dua merupakan tempat yang di dalamnya ia mendapati kuncinya, dalam imajinasi, atau jika anda lebih suka, dalam ide-ide yang terdapat di benaknya sendiri. Adapun di Bagian Tiga, ia membuka peti tersebut untuk membantu mereka yang pernah mengusirnya.

Dengan menggunakan eisegesis, kita juga dapat membandingkan tempat yang dituju oleh Jonathan dengan kelas Filsafat. Bagian Satu menyerupai kehidupan kalian masing-masing yang hingga sekarang hidup di alam nyata, tempat belajar kalian mengenai berbagai cara hidup. Namun di Bagian Dua, Jonathan belajar mengenai pembelajaran; aktivitas “urutan kedua” ini merupakan salah satu cara pemerian tugas filsafat. Interpretasi ini menyiratkan bahwa mempelajari filsafat bukanlah untuk menjadi filsuf profesional yang menulis makalah teknis yang membosankan yang tak terpahami oleh siapa pun, dengan niat menerbitkannya di jurnal-jurnal yang tidak dibaca oleh siapa pun; alih-alih, maksudnya adalah menyiapkan anda untuk kembali ke tempat anda sebelumnya (atau sekurang-kurangnya ke cakrawalanya), namun dengan pengertian yang baru ditemukan dari hubungan anda dengan realitas yang lebih tinggi, suatu realitas yang mampu memberdayakan anda sehingga dapat menuntut ilmu kealiman hingga embusan napas terakhir anda, apa pun profesi anda. Di sepanjang garis-garis yang sama, jika kita pikir bahwa tiga bagian dari cerita tersebut bersesuaian dengan tiga tipe keterampilan, yang timbul dari aspek fisik, mental, dan spiritual manusia (bandingkan Gambar II.8), maka kita dapat menggunakan Gambar VII.1 sebagai peta proses perkembangan yang terlukis dalam kisah kehidupan Jonathan tersebut.

II. keterampilan mental

(bandingkan “langit”)

III. keterampilan spiritual

(bandingkan cakrawala)

I. keterampilan fisik

(bandingkan bumi)

Gambar VII.1: Tiga Tahap Kehidupan Jonathan

Dengan menengok kembali hal-hal yang telah kita bahas hari ini, kita bisa menyadari tiga pelajaran penting mengenai kealiman ini yang harus kita ingat-ingat di sepanjang bagian ketiga dari matakuliah ini. Pertama, kealiman mensyaratkan pengakuan kita bahwa ada tapal batas antara pengetahuan kita dan kebebalan kita. Hal ini telah banyak kita pelajari dari telaah kita tentang metafisika di Bagian Satu. Kedua, kealiman menghajatkan kepercayaan kita bahwa, kendati ada kebebalan-niscaya kita, bisa saja didapatkan jalan untuk menerobos garis tapal batas ini. Kajian kita tentang logika sintetik di Bagian Dua telah mengajarkan juga pelajaran ini kepada kita. Akhirnya, pelajaran barunya adalah bahwa kita baru benar-benar mulai memahami apakah kealiman itu manakala kita mengakui bahwa, juga sesudah kita berhasil dalam penerobosan batas-batas kita terdahulu, kita harus kembali ke rumah asli kita. Akan tetapi, ada perbedaan krusial antara keadaan-asal kita dan keadaan kita sewaktu kita kembali: sekarang kita memiliki sedikit-banyak kesadaran (walaupun kita tidak dapat menyebutnya “pengetahuan”) akan kedua sisi tapal batas itu. Salah satu cara yang baik untuk menggambarkan hal ini adalah bahwa ketika kita pulang, kita masih tinggal, sebagaimana adanya, pada tapal batas (atau “cakrawala”), seperti yang terlukis di Gambar VII.2.

II. Penerobosan

III. Pengembalian

I. Pengakuan kebebalan

Gambar VII.2: Kealiman sebagai Pengembalian ke Tapal Batas


Mari kita perhatikan secara singkat dua kisah lain yang dengan sangat kuat menggambarkan pentingnya pengembalian ke tapal batas alam terdahulu kita untuk berbagi wawasan yang kita peroleh dengan menerobos tapal batas tersebut. [Cerita] pertama adalah satu bagian dari cerita Plato tentang gua (lihat Gambar II.7) yang belum saya sebut di Kuliah 5. Orang-orang yang bisa menemukan jalan keluar menuju cahaya mentari dan mampu melihat alam sebagaimana adanya, dengan mempelajari keahlian filosofis yang memperhatikan benda-benda menurut formanya, begitu terkesan dengan kekuatan matahari sehingga mereka terpaksa kembali ke gua dengan harapan membebaskan orang-orang yang masih terbelenggu di alam bayangan. Jadi, cerita Plato pada aktualnya mengikuti bentuk yang sama dengan yang terlihat di Gambar VII.2. [Cerita] kedua, yang disadur dari cerita karya G.K. Chesterton (lihat CO), cukup berbeda dengan cerita Plato dan Jonathan, tetapi memiliki pesan yang serupa.

Ada seorang anak yang dibesarkan di suatu desa kecil, terpencil di lembah antah-berantah. Pada masa kanak-kanaknya, ia sering mendengar cerita dari tetua desanya mengenai Gunung Besar yang berupa patung wajah orang. Pikirannya begitu terpenuhi dengan ketakjuban akan dongeng-dongeng yang ia dengar sehingga ia meninggalkan rumah, kendati masih belia, untuk mencari gunung masyhur tersebut. Namun demikian, sesudah bertahun-tahun melakukan pengembaraan yang menjemukan ke seluruh pelosok negeri, ia tak pernah menangkap isyarat akan patung yang ia cari. Dengan kekecewaan terhadap hal-hal yang kini ia anggap sebagai tipu muslihat yang muncul semasa remajanya, ia akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Akan tetapi, tatkala mendekati desanya, ia terkejut mendapati bahwa gunung yang terlihat di belakang [desa] itu berwujud khas wajah orang! Semasa remaja, ia tak pernah bepergian cukup jauh dari rumah untuk melihat “gambaran seutuhnya”, dan begitu ia pergi, ia belum pernah menengok ke belakang. Kini, tentu saja, perjalanannya banyak mengubahnya sehingga ia tak akan menjalani kehidupan di desanya seperti sedia kala: kita bisa mengatakan, ia akan selalu tetap “di tapal batas”.

Nah, dengan memperhatikan wawasan baru ini, mari kita ingat bahwa Bagian Satu dan Dua dari matakuliah ini terutama berhadapan dengan dua bidang filsafat teoretis yang paling penting. Di Bagian Tiga dan Empat kita akan mengalihkan perhatian kita kepada dua bidang terpenting filsafat praktis. Yang pertama bisa disebut “filsafat terapan”, karena ini mensyaratkan bahwa kita menerapkan logika yang telah kita pelajari pada berbagai jenis ikhtiar manusia. Namun [bidang] ini bisa juga disebut ilmu, karena dalam hal masing-masing, tujuannya adalah menelurkan sejenis pengetahuan. Pada Bagian Tiga ini kita akan mengamati tiga cabang utama pohon filsafat: filsafat ilmu alamiah, ilmu moral, dan ilmu politis. Dalam hal masing-masing, tujuan kita adalah menemukan kondisi tapal batas yang bisa dilampaui (umpamanya dengan logika sintetik), namun masih merupakan rumah yang tepat bagi filsafat mana pun yang hendak memikirkan disiplin-disiplin ini. Dalam melakukannya, kita tidak banyak berbicara tentang kealiman begitu saja. Bagaimanapun, asumsi dasar di sepanjang pengamatan kita terhadap topik-topik ini adalah bahwa dalam pencarian posisi yang tepat bagi garis tapal batas, pada aktualnya kita melaksanakan salah satu dari tugas-tugas terpenting dalam pencarian kealiman.



  • 20. Ilmu dan Anatomi Kealiman

Salah satu pelajaran terpenting yang kita pelajari dari bahasan kita di kuliah yang lalu adalah bahwa filsafat, sebagaimana belajar terbang, terutama merupakan keterampilan. Saya ingin memulai kuliah ini dengan menekankan gagasan tersebut, khususnya lantaran delapanbelas kuliah pertama kita terutama berhadapan dengan aspek teoretis pohon filsafat. Jika kajian anda tentang filsafat sejauh ini memberi anda kesan bahwa filsafat itu lebih berupa seperangkat teori atau doktrin daripada aktivitas, maka silakan melupakan kesan itu sekarang juga! Filsafat itu mula-mula dan terutama mengenai sesuatu yang dilakukan. Adapun belajar berfilsafat, dalam banyak hal, serupa dengan belajar bermain sepakbola atau bertutur bahasa. Ada teori-teori dan metode-metode tertentu yang harus dipelajari di sepanjang jalan ini; namun akhirnya anda tak akan menjadi pemain sepakbola yang baik tanpa melatih keterampilan anda di lapangan, dan anda tak akan mahir dalam suatu bahasa tanpa menjumpai beberapa orang yang berbicara dengan bahasa itu dan bercakap-cakap dengan mereka.

Contoh-contoh tentang permainan dan bahasa tersebut menyiratkan bahwa dua tahap penting untuk mempelajari keterampilan adalah praktek dan peniruan; hal ini berlaku pula pada keterampilan berfilsafat. Inilah alasan mengapa saya mendorong siapa saja yang mengambil matakuliah ini untuk menyisihkan waktu secara teratur untuk merenungkan masalah-masalah filosofis yang diangkat di kuliah-kuliah ini atau terdaftar di subbab “Pertanyaan Perambah” pada setiap akhir pekan, dan kemudian menulis lembar mawas sebagai respon. Lembar mawas merupakan peluang anda untuk berlatih berfilsafat. Namun, kecuali jika anda telah punya bakat berfisafat, praktek belaka tidak cukup untuk menuju kesuksesan. Anda juga perlu seseorang untuk ditiru. Dengan mengingat hal ini, saya harap bahwa karena anda mengikuti (atau membaca) kuliah-kuliah ini, anda lebih menaruh perhatian pada cara berfilsafat saya daripada menghafal “fakta-fakta” mengenai beragam filsuf. Akan tetapi, tepat seperti bahwa ada banyak strategi yang berlainan untuk bermain sepakbola yang baik dan banyak ide yang berlainan mengenai cara terbaik untuk belajar bahasa, ada banyak konsepsi juga yang berbeda-beda tentang cara terbaik untuk berfilsafat, sebagaimana yang telah kita lihat. Inilah alasan mengapa anda juga perlu membaca tulisan-tulisan asli filsuf-filsuf lain (seperti yang disarankan di subbab “Bacaan Anjuran” di akhir setiap pekan). Ketika membaca teks-teks ini, anda jangan hanya belajar tentang isi gagasan filosofisnya, tetapi juga belajar meniru bagaimana filsuf itu berfilsafat. Akhirnya, anda harus mampu berfilsafat ketika anda membaca, dengan secara aktif menerapkan metode yang tepat melalui dialog dengan teks yang sedang anda baca.

Filsafat merupakan keterampilan, namun tidak sama dengan keterampilan lain apa pun. Sesungguhnya, mudah diambil perbandingan yang terlalu jauh antara filsafat dan keterampilan-keterampilan lain. Ini lantaran filsafat pada aktualnya dapat dianggap sebagai keterampilan terdalam atau keterampilan tentang keterampilan. Dengan kata lain, filsafat yang terbaik, sebagai keterampilan pemerolehan gagasan dan penemuan kebenaran di dalamnya, menyediakan pondasi bagi semua keterampilan lain. Inilah alasan sebenarnya mengapa setiap disiplin akademik memiliki “filsafat ...” yang melekat padanya. Di samping cabang-cabang pohon filsafat yang diperhatikan di Bagian Tiga ini—filsafat ilmu, filsafat moral, dan filsafat politik—kita dapat mengkaji filsafat agama, filsafat fisika (dan filsafat ilmu spesifik lainnya), filsafat seni (dan filsafat seni spesifik lainnya), filsafat pendidikan—dan seterusnya. Bahwa keterampilan berfilsafat merupakan pondasi semua keterampilan itu tercermin pada penegakan pendidikan kita oleh fakta bahwa orang yang menguasai disiplin akademik tertentu biasanya diberi gelar [Ph.D., yakni] “doktor filsafat”. Walaupun sebagian besar gelar doktoral pada aktualnya tidak mensyaratkan kandidat untuk mengkaji filsafat sebagaimana adanya, nama gelar tersebut benar-benar menyiratkan bahwa si wisudawan telah menguasai pondasi disiplinnya—dan sehingga semestinya, setidak-tidaknya pada prinsipnya, mampu berfilsafat mengenai disiplinnya. Akan tetapi, keterampilan pun yang biasanya tidak ada hubungannya dengan pendidikan perguruan tinggi bisa memiliki “filsafat ...”, seperti filsafat bermain-catur, filsafat memasak, filsafat berburu, dan lain-lain, sehingga tentu saja ada filsafat kehidupan, belum lagi filsafat kematian. Kedua topik ini, yang akan dibahas di Pekan XII, mengacu pada terutama keterampilan: yaitu mempelajari cara hidup, atau mempelajari cara mati.

Bagaimana padangan tentang filsafat sebagai keterampilan ideal itu berkaitan dengan mitos dasar matakuliah ini? Dengan kata lain, jika filsafat itu seperti pohon, maka keterampilan berfilsafat akan kita sebut apa? Kita menggambarkan filsuf dengan cara bagaimana? Filsuf-filsuf menggarap filsafat dengan cara yang banyak menyerupai tukang kebun yang menggarap tanaman di taman: tepat seperti tukang kebun yang tidak menciptakan atau bahkan membangun tanaman, tetapi merawat sesuatu yang telah ada (umpamanya dalam bentuk benih), filsuf pun tidak (atau sekurang-kurangnya jangan) memandang tugasnya sebagai menemukan argumen yang dimulai dari nol atau sebagai membangun sistem dengan corak yang sedikit-banyak mekanis, tetapi sebagai merawat kenyataan yang telah ada (umpamanya dalam bentuk gagasan). Dengan mengingat hal ini, mari kita lihat lebih dekat mitos dasar matakuliah ini.

Pohon filsafat yang saya sajikan di matakuliah ini cukup berbeda dengan yang dipaparkan oleh Descartes (lihat Gambar III.1). Pada faktanya, satu-satunya kesamaan dua analogi ini adalah bahwa keduanya mengasosiasikan metafisika dengan akar pohon (lihat Gambar VII.3). Tepat seperti akar pohon yang hampir seluruhnya terbenam di dalam tanah, pokok persoalan metafisika pun hampir seluruhnya tersembunyi dari tatapan keingintahuan benak kognitif kita. Karenanya, pelajaran asasi yang kita petik dari belajar metafisika adalah bahwa, sebagaimana tukang kebun yang akan mudah mematikan pohonnya bila senantiasa mencabut akar pohon itu untuk melihat bagaimana akar-akar tersebut tumbuh, filsuf-filsuf yang menolak untuk mengakui pentingnya kebebalan kita tentang kenyataan hakiki, dan yang justru mengklaim telah menjangkau pengetahuan yang pasti tentang kenyataan hakiki (atau tentang non-eksistensinya), pun akan mudah dengan ceroboh mematikan organisme yang mestinya mereka rawat.

akal

ontologi

ilmu

wawasan

logika

filsuf

ilmu baru?

metafisika

tradisi

Gambar VII.3: Pohon Filsafat

Batang dan cabangnya, sebagaimana yang telah kita lihat, bagi kita bukan fisika dan ilmu-ilmu lain, melainkan logika dan ilmu (yang di sini [istilah] “ilmu” diambil dari makna aslinya yang mengacu pada segala “pengetahuan” yang bisa dibuktikan kebenarannya, bukan hanya pada tipe pengetahuan yang terpola pada metode-metode ilmu fisis). Tepat seperti semua cabang pohon yang tumbuh dari batang, semua pengetahuan (yakni sciens) kita bisa diungkapkan dalam kata-kata (yakni logoi). Kita bisa menambahkan bahwa kulit batang pohon itu seperti logika analitik, yang menunjukkan permukaan pelindung cara pikir kita, sedangkan inti pohon itu seperti logika sintetik, yang membawa kita kepada jantung dan kehidupan pikiran itu sendiri.

Walaupun Descartes tidak membawa analogi pohonnya melampaui cabang-cabang, kita akan melihat di Bagian Empat bahwa daun-daun pohon bisa disamakan dengan bidang penyelidikan filsafat yang biasanya dikenal sebagai ontologi (“telaah tentang yang-berada”). Tepat seperti kebanyakan daun-daun pohon yang gugur setiap tahun dan tumbuhlah daun baru di musim semi dalam suatu daur kelahiran, pertumbuhan, kematian, dan kelahiran kembali yang sinambung, fenomena yang akan kita telaah di Bagian Empat pun sering sekejap dan sementara. Sekalipun begitu, sebagaimana daun pohon yang memberinya ciri khas, ciri khas manusia pun ditentukan oleh pengalaman-pengalaman seperti pengalaman keindahan, cinta, keagamaan, dan kematian. Malahan, tepat seperti daun-daun mati yang jatuh ke tanah dan kemudian terurai, dengan tujuan membentuk tanah yang memberi gizi akar-akar pohon, akumulasi generasi pengalaman manusia pun membentuk tradisi yang tidak bisa diabaikan tanpa bahaya, karena inilah yang menjadi landasan pertumbuhan pohon filsafat.

Mari kita ambil mitos pohon filsafat ini selangkah lebih maju, dengan asumsi bahwa kita merawat pohon yang mengandung buah. Jika demikian, apa sifat buah ini? Saya menyarankan kita memandangnya sebagai titik-awal berbagai ilmu. Sejarah memberi tahu kita bahwa sebagian besar disiplin yang kini kita akui sebagai ilmu pernah dianggap sebagai cabang filsafat. Matematika, misalnya, bisa dilacak jejaknya pada filsuf Yunani kuno yang bernama Pitagoras (yang “teorema Pitagoras”-nya barangkali anda pelajari di sekolah). Beraneka-macam ilmu seperti fisika, biologi, psikologi, dan ilmu politik semuanya memiliki asal-usul dalam empirisisme filosofis Aristoteles. Kimia (chemistry) pun berkembang dari disiplin kuasi-filosofis, yakni kimia kuno (alchemy), yang di dalamnya orang-orang yang menyebut diri-sendiri “filsuf” mencoba mencari cara pengubahan berbagai bahan biasa menjadi emas. (Para kimiawan-kuno pun menganggap “arbor philosophicusiii[3] sebagai simbol proses transformasi ini, walaupun versi pohon filsafat ini, sebagaimana yang diperikan oleh Carl Jung (dalam PSA 420; lihat juga Gambar 122, 131, 135, 188, 221, 231), sangat berbeda dengan yang diberlakukan di matakuliah ini.) Sosiologi dan Ilmu Ekonomi juga berawal dengan segi-segi sistem filosofis. Begitu pula ilmu-ilmu lainnya. Mengapa ilmu-ilmu itu sering muncul dengan cara ini? Pohon filsafat menyediakan jawaban yang masuk akal: cabang pohon ini melambangkan ilmu dalam arti khusus, yaitu cinta akan kealiman; di atasnya tumbuh berbagai jenis buah; bila satu buah semacam ini luruh ke tanah, membusuk, dan kemudian berakar, lahirlah ilmu yang spesifik. Kebetulan, inilah yang menjelaskan mengapa usaha untuk membuat filsafat itu sendiri menjadi ilmu lain adalah sangat sia-sia: pohon filsafat tak akan menjadi suatu ilmu karena ia induk semua ilmu! Tragedinya adalah bahwa pohon-pohon yang lebih muda ini, kendati terlindung sebagai pucuk muda yang lemah di bawah bayangan pohon filsafat, sering mengancam untuk mencekik induk mereka ketika mereka mencapai kedewasaan.

Jika pohon-pohon baru yang tumbuh dari buah pohon filsafat adalah ilmu-ilmu spesifik, maka biji yang kita dapati di tengah-tengah setiap buah itu apa? Mungkin biji ini melambangkan gagasan atau wawasan kita. Saya yakin sebagian besar dari kita, kalau tidak kita semua, mempunyai banyak wawasan yang berharga sepanjang hayat kita. Masalahnya adalah bahwa kita biasanya lalai untuk mengakui nilainya ketika biji itu mendatangi kita, sehingga kita menyantap buah manis yang berupa opini, untuk memuaskan nafsu kita, tetapi mencampakkan biji pahitnya, walaupun pada akhirnya biji-biji itu bisa melahirkan pengetahuan. Wawasan harus ditanam, diairi, dan dirawat dengan perhatian kita terus-menerus jika hendak ditumbuhkan menjadi ide yang patut dipertimbangkan oleh orang lain, tidak cuma kita anut sendiri sebagai opini pribadi.

Pembedaan antara pengetahuan dan opini ini perlu dipahami sebelum kita melakukan diskusi tentang ilmu dan cinta akan kealiman. Kant, pada halaman-halaman akhir Critique of Pure Reason, menyarankan cara pembedaan yang menarik perihal pembedaan antara pengetahuan, keyakinan, dan opini. Katanya, untuk mengklaim bahwa kita “mengetahui” sesuatu, kita harus memiliki kepastian obyektif (eksternal) dan sekaligus kepastian subyektif (internal). “Keyakinan” bisa mempunyai tingkat kepastian yang sekuat pengetahuan, namun kepastiannya hanya subyektif; jika saya merasa pasti akan sesuatu, meskipun fakta-fakta eksternal tidak memadai untuk mengemukakan bukti obyektif (yakni bukti yang memaksa orang lain setuju), maka dan hanya maka saya harus mengatakan “Saya yakin ...”. Sebaliknya, pada situasi yang di dalamnya saya tidak yakin baik secara obyektif maupun secara subyektif, saya harus mengakui bahwa saya sendiri berpegang pada suatu opini.

Pembedaan Kant tersebut pada aktualnya didasarkan pada dua pertanyaan yang membentuk suatu 2LAR: (1) Apakah secara subyektif kebenaran p pasti? dan (2) Apakah secara obyektif kebenaran p pasti? Kant menjelaskan tiga situasi-bolehjadi yang timbul dari dua pertanyaan itu, tetapi ia tidak menunjukkan kemungkinan keempat. Barangkali ia menganggap sia-sia memikirkan proposisi yang secara obyektif pasti, namun secara subyektif tidak pasti. akan tetapi, saya pikir sebaiknya kita tidak terburu-buru menganggap hal ini sebagai 2LAR yang tidak sempurna. Bagaimana dengan mengabaikan? Tidakkah mengabaikan merupakan keadaan sesuatu yang secara subyektif tidak pasti yang pada lubuknya memiliki suatu jenis kepastian obyektif? Jika demikian, maka kita dapat memetakan empat keadaan kognitif itu pada salib 2LAR, seperti pada Gambar VII.4.

mengetahui

(kepastian subyektif,

kepastian obyektif)

mengabaikan menyatakan

(ketidakpastian subyektif, (ketidakpastian subyektif,

kepastian obyektif) ketidakpastian obyektif)

meyakini

(kepastian subyektif,

ketidakpastian obyektif)

Gambar VII.4: Empat Keadaan Kognitif

Wawasan tak pernah merupakan opini belaka; wawasan lebih menyerupai tercetusnya sesuatu yang baru secara mendadak, suatu kesadaran akan pengetahuan potensial tentang sesuatu yang sebelumnya kita abaikan sepenuhnya. Dengan demikian, segera seusai kita akui kebebalan kita, filsafat menyeru kita agar memfokuskan perhatian kita menuju pengetahuan dan keyakinan dan menjauhi opini. Sebaliknya, ilmu selalu menuju pengetahuan saja, dalam arti kepastian yang bisa dibuktikan secara obyektif. Ilmuwan menelaah hubungan antara fenomena alamiah tertentu dengan mengamati struktur umumnya, dan upaya untuk menemukan pola-pola yang akhirnya mengarahkan kita ke pemahaman beberapa hukum alam yang dipatuhi oleh fenomena yang dibicarakan. Jika suatu fenomena selalu terlaksana dengan cara tertentu, maka aktivitasnya bisa diprediksi; dan tentu saja, salah satu daya tarik terbesar ilmu adalah bahwa, manakala ilmu benar-benar mencapai tujuan puncaknya yang berupa mapannya pengetahuan yang secara obyektif bisa dibuktikan kebenarannya, ilmu itu memungkinkan kita untuk mengetahui masa depan! Sebaliknya, filsafat ilmu tidak dimaksudkan untuk membangun pasal-pasal pengetahuan empiris yang tertentu, tetapi menelaah sifat dasar keseluruhan asumsi dan metode ilmu. Jadi, filsuf ilmu itu bukan mengetengahkan pertanyaan tentang fenomena tertentu, melainkan mengajukan pertanyaan semacam: Apakah ilmu itu? Metode ilmiah apa yang tepat? Yang menghasilkan keandalan ilmu itu apa? dan Apakah ilmu itu memberi kita pengetahuan tentang kenyataan yang bebas seluruhnya dari benak kita?

Pada matakuliah ini kita tidak akan mampu menyelidiki pertanyaan-pertanyaan ini dengan sangat cermat. Contohnya, kita takkan bisa lebih mendalami pertanyaan terakhir daripada yang kita lakukan di Kuliah 8, yang di situ kita lihat bahwa Kant, sekurang-kurangnya, yakin bahwa semua pengetahuan ilmiah itu bergantung pada “kondisi apriori sintetik” yang ditimpakan oleh benak itu sendiri pada obyek-obyek dengan tujuan agar obyek-obyek itu bisa diketahui. Karena itu, aspek kritisisme metafisika ini berkaitan erat dengan filsafat ilmu. Pada kuliah mendatang kita akan melihat lebih dekat salah satu argumen Kant, mengenai pondasi filosofis keandalan ilmu, yang juga mempunyai implikasi bagi hakikat metode ilmiah yang tepat. Namun untuk sekarang saya hendak menambah sedikit komentar tentang hakikat ilmu itu sendiri.

Terdapat suatu pandangan umum, yang populer terutama di kalangan ilmuwan dan mahasiswa sains, bahwa kebenaran segala hal harus bisa dibuktikan secara ilmiah. Pandangan ini sering disebut “saintisme”. Suatu pandangan serupa, yang disebut “naturalisme”, bahkan memandang lebih jauh lagi, dengan menyatakan bahwa segala hal yang ada itu [bersifat] material, tetap, dan mekanis. Dua pandangan ini sering berjalan seiring, karena penghuni bumi yang “alamiah” sepenuhnya (dalam ertian khusus ini) takkan bisa menemukan kebenaran dengan metode non-ilmiah apa pun. Sebagaimana yang akan kita saksikan di Kuliah 21, para ilmuwan harus mengasumsikan bahwa fenomena yang mereka kaji itu [bersifat] alamiah pada sesuatu yang menyerupai ertian ini, karena kalau tidak, pengetahuan obyektif mengenai hal itu mustahil diperoleh. Akan tetapi, [kalangan] naturalis mengambilnya selangkah lebih dalam dengan mengklaim bahwa tidak ada apa pun di luar alam yang bisa diamati oleh ilmuwan. Bahkan di ilmu-ilmu sosial, yang pengetahuan mapannya sering berupa pengetahuan mengenai opini dan keyakinan orang, kadang-kadang ada kecenderungan untuk menganggap bahwa pengetahuan obyektif ilmuwan itu entah-bagaimana bebas dari segala noda subyektivitas. Akan tetapi, seperti siratan Gambar VII.4, pengetahuan sejati selalu mempunyai unsur subyektif di samping unsur obyektif. Bahkan, gagasan bahwa kita bisa memiliki pengetahuan obyektif murni itu amat menyesatkan, karena keadaan semacam itu pada aktualnya menetapkan kebebalan, bukan pengetahuan! Kebebalan yang menyertai segala pandangan yang memutlakkan pengetahuan obyektif bisa dipandang sebagai, minimal, kebebalan akan sifat mitologis keyakinan subyektif yang membentuk pondasi pokok pandangan-pandangan semacam itu.

Gagasan utama yang ingin saya ajukan mengenai pandangan-pandangan seperti saintisme dan naturalisme adalah bahwa, berlawanan dengan asumsi banyak orang yang menganut pandangan-pandangan semacam itu, keduanya bukan bagian dari ilmu, bukan pula diwajibkan oleh hakikat ilmu; alih-alih, keduanya adalah filsafat ilmu. Saintisme adalah, atau mestinya dianggap sebagai, teori epistemologis, sedangkan naturalisme sebagai teori metafisis. Sekalipun begitu, dalam banyak hal, keduanya lebih merupakan hasil dari prasangka yang berat sebelah, suatu ketidakmampuan untuk melihat segala sesuatu dari lebih dari satu sudut pandang, daripada sebagai pondasi filosofis yang beralasan bagi ilmu. Faktanya adalah bahwa filsuf-ilmu lain mengakui bahwa dunia kita terdiri dari lebih dari sekadar materi yang ditentukan secara mekanis, bahwa ilmu adalah salah satu cara penemuan kebenaran yang sah, dan bahwa pandangan-pandangan tentang ilmu ini menyediakan pondasi yang baik untuk penelitian ilmiah di samping alternatif-alternatif yang lebih cenderung-sempit. Begitu kita sadari bahwa kebenaran mutlak itu tidak ada hubungannya dengan ilmu itu sendiri, ada banyak kekuatan yang tersingkir dari filsafat, seperti saintisme dan naturalisme.

Perbedaan antara ilmu dan filsafat ilmu itu melukiskan bagaimana disiplin-disiplin filsafat terapan berkaitan dengan jenis kealiman yang dibahas di Bagian Tiga ini. Di sini kita telah sampai pada memandang “kealiman” dalam ertian umum, seperti yang mengacu pada aktivitas yang ditujukan untuk mengetahui bagaimana memutuskan mana yang nyata mana yang tidak; atau mengetahui di mana penempatan tapal batas antara pengetahuan dan kebebalan. Dengan kata lain, mencintai kealiman itu mensyaratkan kita untuk sampai tahu apa yang bisa kita sebut Jalan ilmu, bukan untuk menghimpun fakta ilmiah sebanyak mungkin. Sesungguhnya, gagasan ini oun tersirat dalam salah satu definisi “kealiman”, yang paling umum yaitu “mengetahui bagaimana menggunakan pengetahuan (scientia) kita”.

Salah satu masalah yang timbul adalah bahwa filsafat terapan, yang terkait dengan cinta akan kealiman menurut pemahaman dengan cara tersebut, mungkin dianggap sia-sia oleh sebagian orang. Aduan seperti yang berikut ini, pada faktanya, diangkat oleh sebagian mahasiswa saya terdahulu: “Mengapa kita menelaah ‘filsafat sesuatu’ bila kita bisa menelaah sesuatu itu sendiri?” “Fakta-fakta ilmiah memungkinkan kita untuk menciptakan segala jenis kemajuan teknologi; namun perkembangan teknologi apa di masyarakat kita yang pernah dihasilkan oleh filsafat ilmu?” “Menelaah ‘cara’ misterius ini menghambur-hamburkan waktu, bila kita bisa menggunakan waktu kita yang berharga untuk mengkaji sesuatu yang pada kenyataannya bermanfaat!”

Chuang Tzu, filsuf Cina kuno yang gagasannya kita jumpai sehubungan dengan pembahasan kita tentang logika sintetik, ialah jawara “Jalan” (yang dalam bahasa Cina disebut “Tao” atau “Dao”). Seperti yang mungkin kita duga, ia benar-benar sadar akan tuduhan bahwa penelaahan tentang Jalan ini sia-sia. Pada beberapa kesempatan, tanggapannya adalah menunjukkan bahwa pohon yang kita kira “berguna” mungkin memiliki kehidupan yang singkat. Jika kayunya sangat keras, kita ingin menggunakannya untuk membangun sesuatu. Jika kayunya sangat lunak, kita ingin memakainya untuk memahat sesuatu. Jika kayunya beraroma harum, kita ingin memanfaatkannya untuk membuat hiasan dekoratif. Namun jika pohon itu tidak berguna, kita lebih cenderung membiarkannya. Dari hal ini ia menyimpulkan bahwa kesia-siaan bisa sangat berguna: pohon yang tampaknya “tidak berguna” lebih berkemungkinan untuk hidup lama! Penerapan logika sintetik ini mungkin bukan cara yang paling persuasif untuk membela manfaat pohon filsafat; namun cara ini bukan tanpa kelebihan, karena ini menunjukkan bahwa kita harus meninjau kembali asumsi umum kita mengenai apa yang kita anggap “berguna”.

Menurut Wittgenstein, filsafat berfaedah hanya bagi orang-orang yang terusik dengan sejenis “kram mental” tertentu, dan tugasnya selaku filsuf adalah bertindak sebagai “pemijat” yang harus meredakan kram itu. Karena terutama, kalau bukan hanya, filsuflah yang menderita kram ini, ia memandang tugasnya adalah membantu filsuf-filsuf dalam menghindari kejatuhan yang menuju cara pikir yang sia-sia. Akan tetapi, begitu kita akui bahwa orang awam juga cenderung menerapkan pengetahuan dengan cara yang sia-sia, manfaat menelaah filsafat bisa lebih dihargai sepenuhnya.

Sesungguhnya, ketidakmampuan kita untuk memanfaatkan kealiman dalam pengertian instrumental—umpamanya, seperti pemakaian garpu dan pisau, atau sumpit, untuk makan—itulah yang memungkinkannya untuk berfungsi sebagai pondasi bagi semua yang berguna. Mengetahui belaka tapal batas antara pengetahuan dan kebebalan barangkali tidak memungkinkan kita untuk membangun sejenis roket baru untuk menjelajahi alam semesta dengan lebih cepat, tidak pula menjamin bahwa secara otomatis kita melakukan hal-hal yang benar bila kita berada dalam keadaan yang secara moral sulit, tidak pula memberdayakan kita untuk menciptakan perdamaian antara pemimpin-pemimpin dua bangsa yang berperang. Namun ini akan memungkinkan kita untuk melihat dengan lebih gamblang perbedaan antara penerapan yang penuh makna dan yang kurang bermakna perihal jenis pengetahuan ini dan sebagainya. Karenanya, kita dapat menggunakan pengetahuan filosofis untuk membantu orang-orang yang terlibat dalam kegiatan kemanusiaan agar tidak menggunakan kecakapan teknologis, atau penalaran moral mereka, atau kekuatan politis mereka, dengan cara yang tidak-rasional, destruktif, atau pun yang menghancurkan-diri.

  • 21. Kausalitas dan Tapal Batas Ilmu

Saat ini kita akan melihat dengan lebih dekat salah satu persoalan mendasar dalam filsafat ilmu: keandalan induksi sebagai alat pemerolehan pengetahuan. Namun pertama-tama, mari kita arahkan perhatian kita kepada pertanyaan yang perlu kalian pikirkan selama beberapa pekan mendatang, walau ini tidak langsung berkaitan dengan filsafat ilmu. Pertanyaannya, yang dikutip oleh Kierkegaard (dalam CUP 97) dari Lessing (1729-1781), adalah:

If God had all truth in his right hand

and the lifelong search for truth in his left,

which hand would you choose?

(Jika Tuhan meletakkan seluruh kebenaran di tangan kanan-Nya

dan pencarian kebenaran sepanjang hayat di tangan kiri-Nya,

tangan mana yang akan anda pilih?)

Dalam kuliah terdahulu, kira-kira pada waktu itu saya pikir kalian akan melupakan permintaan saya agar kalian merenungkan pertanyaan sulit ini; saya akan mengetengahkan beberapa saran tentang bagaimana mestinya tanggapan kita yang saya yakini.

Ingatkah kalian akan bahasan kita di Kuliah 11 tentang metode argumen yang analitik dan sintetik? Pada saat itu kita membandingkan perbedaan antara deduksi (metode yang berawal dengan dua premis atau lebih dan menarik simpulannya yang niscaya) dan induksi (metode yang berawal dengan penghimpunan bukti dari observasi dan dari sini menggeneralisasikannya untuk membentuk simpulan yang bolehjadi). Ada banyak ilmuwan, sejak kelahiran ilmu hingga sekarang ini, yang berasumsi bahwa tugas mereka mensyaratkan observasi yang cermat lebih dari argumentasi yang ketat, sehingga cara yang tepat untuk berilmu adalah berjalan di jalur induksi. Masalah yang terangkat adalah bahwa para ilmuwan hampir selalu memandang tugas mereka sebagai pencarian fakta, dan mereka biasanya menganggap bahwa begitu “fakta” diperagakan, konon hal itu pasti benar; padahal, seperti yang kita lihat di Kuliah 11, induksi sendirian tidak bisa memberi pengetahuan yang sepasti itu, karena sedikit-banyak selalu bergantung pada dugaan. Pemecahan masalah ini merupakan hal terpenting bagi filsafat ilmu karena tampaknya mempersoalkan salah satu keyakinan kita yang paling mendasar mengenai pengetahuan ilmiah: bahwa fakta-fakta ilmiah adalah andal dan bisa dipercaya, karena para ilmuwan telah membuktikan bahwa [fakta-fakta] itu pasti benar.

Bagi kebanyakan ilmuwan yang secara filosofis memikirkan “problem induksi” yang mereka hadapi, solusinya adalah asumsi bahwa fenomena yang mereka amati itu entah-bagaimana terikat bersamaan melalui hubungan yang niscaya. Ini berarti pentingnya fakta-fakta ilmiah tidak berasal dari struktur logis metode ilmiah, tetapi dari suatu hukum di dalam fenomena itu sendiri. Adapun hukum alamiah yang paling dasar, yang mengatur semua hukum lain yang lebih spesifik mengenai bagaimana fenomena berinteraksi, adalah bahwa efek apa pun yang kita amati di alam itu niscaya ditentukan oleh suatu sebab yang mendahuluinya. Hal penting yang harus dipahami tentang solusi ini adalah bahwa penggunaan hukum sebab-akibat-niscaya itu merupakan asumsi filosofis, bukan sesuatu yang didasarkan pada bukti ilmiah apa pun. Bahkan, kita bisa menyebutnya “mitos” yang melandasi kebanyakan ilmu modern. Di abad keduapuluh ada sebagian ilmuwan, kebanyakan di antara mereka ialah fisikawan, yang menyatakan menolak mitos ini, atas dasar bahwa pada tingkat sub-atomik peristiwa-peristiwa “terjadi begitu saja”: jalur elektron, misalnya, diyakini acak sepenuhnya, dan dengan demikian tak bisa diprediksi pada suatu titik waktu tertentu, sehingga hanya “probabilitas” jalur yang ada itu yang bisa diketahui lebih dahulu. Akan tetapi, para ilmuwan lain yakin bahwa penjelasan semacam itu, di samping sebagai cara penghitungan pergerakan partikel-partikel sub-atomik yang misterius, merupakan pengakuan belaka bahwa para fisikawan telah sampai pada tujuan ilmu mereka. Memang, seolah-olah mereka “membenturkan kepala mereka” pada tapal batas terluar ilmu itu sendiri.

Jika para fisikawan pada kenyataanya telah mencapai tapal batas alam fisis, maka asumsi bahwa peristiwa-peristiwa sub-atomik tidak bersebab itu sama mitologisnya dengan asumsi yang lebih tradisional bahwa semua peristiwa memiliki sebab. Dalam hal ini para ilmuwan mesti mengakui bahwa perdebatan tentang asumsi mana yang berfungsi sebagai mitos yang lebih baik untuk membangun ilmu itu terutama merupakan perdebatan filosofis, yang tak terjawab oleh observasi ilmiah melulu. Secara demikian, sekarang saya hendak memperkenalkan kepada kalian dua cara penanganan filsuf-filsuf terhadap persoalan tentang hubungan-niscaya yang acapkali diyakini memberi keandalan kepada pengetahuan induktif. Salah satunya datang dari keragu-raguan yang diangkat oleh David Hume (1711-1776), dan yang lain datang dari upaya Kant yang berpengaruh untuk membuktikan kesalahan pandangan Hume.

Hume ialah filsuf Skotlandia yang sepenuhnya membela metode filsofis yang disebut “skeptisisme”. Para skpetis mempersoalkan keandalan pengetahuan kita (di bidang ilmu, moralitas, estetika, atau segala bidang lain yang di dalamnya orang-orang mengklaim kepememilikan pengetahuan), biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi (atau akar) pengetahuan itu tidak memadai atau tidak ada. Hume mempersoalkan banyak jenis pengetahuan, membela alternatif skeptisnya dengan beberapa argumen yang persuasif. Landasan semua argumennya adalah asumsi bahwa kebenaran bisa dicapai hanya melalui dua cara yang sah (bandingkan Gambar IV.4): melalui penalaran matematis (yakni deduksi, yang menghasilkan sesuatu yang kemudian oleh Kant disebut pengetahuan apriori analitik) dan melalui observasi empiris (yakni induksi, yang menghasilkan pengetahuan aposteriori sintetik). Dengan menggunakan asumsi ini, yang kadang-kadang disebut “garpu Hume”, ia berupaya menemukan dan membuang segala klaim pengetahuan yang tidak bersandar pada gagasan (pikiran) yang didasarkan pada logika atau kesan (perasaan) yang didasarkan pada indera. Dengan demikian, bukunya, An Enquiry Concerning Human Understanding (1748), menyimpulkan:

When we run over libraries, persuaded of these principles, what havoc must we make? If we take in our hand any volume--of divinity or school metaphysics, for instance--let us ask, Does it contain any abstract reasoning concerning quantity or number? No. Does it contain any experimental reasoning concerning matter of fact and existence? No. Commit it then to the flames, for it can contain nothing but sophistry and illusion. (EHU §XII, Part III)

(Kala kita kunjungi perpustakaan, terbujuk akan prinsip-prinsip ini, apa yang harus kita perbuat? Bila kita ambil dengan tangan kita buku apa saja—tentang metafisika haluan atau ilahi, misalnya—mari kita bertanya, Apakah itu mengandung penalaran abstrak mengenai kuantitas atau bilangan? Tidak. Apakah itu mengandung penalaran eksperimental mengenai materi fakta dan keberadaan? Tidak. Maka buanglah [buku] itu ke nyala api, karena tidak berisi apa-apa selain penyesatan dan khayalan.) (EHU §XII, Bagian III)

Ketika sampai pada pengetahuan ilmiah, Hume menggunakan “garpu” ini tidak untuk menyangkal kesahihan semua pengetahuan sama sekali, tetapi untuk menyatakan bahwa kelirulah perkiraan bahwa pengetahuan semacam itu memberi kita pintu masuk menuju kebenaran-niscaya. Kita tidak bisa mengamati hukum semacam itu, dan kita tidak bisa membuktikannya dengan penalaran deduktif; jadi, itu pasti tidak benar! Ia mengungkapkan argumennya dengan beragam cara. Umpamanya, ketika membahas kemungkinan bahwa kehendak manusia bisa memberi kita pintu masuk ke hukum semacam itu, ia bernalar:

Why has the will an influence over the tongue and fingers, not over the heart and liver? This question would never embarrass us, were we conscious of a power in the former case, not in the latter. We should then perceive, independent of experience, why the authority of will over the organs of the body is circumscribed within such particular limits. Being in that case fully acquainted with the power or force ... we should also know, why its influence reaches precisely to such boundaries, and no farther. (EHU §VII, Part I, my italics)

(Mengapa kehendak itu mempunyai pengaruh pada mulut dan jari, bukan pada jantung dan hati? Pertanyaan ini tak akan membingungkan kita, bila kita sadar akan kekuatan pada kasus terdahulu, tidak pada yang terkemudian. Maka kita harus mencerap, bebas dari pengalaman, mengapa wewenang kehendak pada organ tubuh dibatasi di dalam batas-batas khusus semacam itu. Dalam kasus yang sepenuhnya terpahami dengan kekuasaan atau kekuatan ... kita harus tahu pula, mengapa pengaruhnya menjangkau tapal batas semacam itu dengan tepat, tidak lebih.) (EHU §VII, Bagian I, pemiringan huruf [merupakan tambahan] dari saya)

Di sini Hume mengakui bahwa pencarian hubungan-niscaya adalah pencarian tapal batas, di luar pengalaman awam, yang akan memberi kita kesadaran akan mengapa hal-hal terhubung sedemikian adanya. Namun kemudian ia menolak kemungkinan semacam itu, atas dasar berikut ini:

... consciousness never deceives. Consequently, neither in the one case nor in the other are we ever conscious of any power. We learn the influence of our will from experience alone. And experience only teaches us, how one event constantly follows another; without instructing us in the secret connection, which binds them together, and renders them inseparable.

(... kesadaran tak pernah mengecoh. Akibatnya, dalam hal apa pun tak pernah kita sadar akan kekuasaan apa pun. Kita mempelajari pengaruh kehendak kita dari pengalaman saja. Adapun pengalaman hanya mengajar kita, bagaimana suatu peristiwa senantiasa mengikuti yang lain; tanpa menyuruh kita dengan hubungan rahasia, yang mengikatnya bersama-sama, dan menyebabkan [peristiwa-peristiwa] itu tak terpisahkan.)

Argumen Hume di sini adalah bahwa untuk memahami alasan bekerjanya kehendak manusia sebagaimana adanya, kita harus sadar akan suatu daya atau kekuasaan yang melandasi dan menentukan pengalaman kita. Namun pada faktanya kita tidak sadar akan apa-apa selain pengalaman kita sendiri; kita bahkan tak pernah memiliki kilasan suatu daya yang tersembunyi semacam itu. Kita sampai pada keyakinan akan ide-ide semacam itu melalui penyalinan kesan-kesan dari indera kita dan “pengasosiasian” ide-ide yang dihasilkan satu sama lain. Salah satu contoh sederhananya adalah bahwa kita bisa membangun ide khayalan berupa “gunung emas” melalui penyalinan kesan-kesan absah yang kita miliki tentang emas dan gunung (EHU §II). Masalahnya adalah bahwa sebagian dari keyakinan kita yang paling terpercaya tampaknya berlandasan lemah (§VII, Bagian II):

.. upon the whole, there appears not, throughout all nature, any one instance of [necessary] connection which is conceivable by us. All events seem entirely loose and separate. One event follows another; but we never can observe any tie between them. They seem conjoined; but never connected. And as we can have no idea of anything which never appeared to our outward sense or inward sentiment, the necessary conclusion seems to be that we have no idea of connection or power at all, and that these words are absolutely without any meaning, when employed either in philosophical reasonings or common life.

(... pada keseluruhannya, semua sifatnya keseluruhannya, tampaknya tiada satu pun contoh hubungan[-niscaya] yang tertangkap oleh pikiran kita. Semua peristiwa tampaknya lepas dan terpisah sama sekali. Sebuah peristiwa mengikuti peristiwa lainnya; namun kita tak pernah bisa mengamati ikatan apa pun antara keduanya. Keduanya tampaknya tergabung; namun tak pernah terhubung. Dan sebagaimana kita tak bisa berpandangan tentang sesuatu yang tak pernah tampak pada indera-luar kita atau perasaan-dalam kita, simpulan niscayanya tampaknya adalah bahwa kita tak punya ide tentang hubungan atau daya sama sekali, dan bahwa kata-kata tersebut pasti tanpa makna, bila diterapkan pada penalaran filosofis atau pun pada kehidupan biasa.)

Jika ide hubungan-niscaya sungguh-sungguh “tanpa makna”, maka hal ini tampaknya merupakan masalah yang tak teratasi bagi yang berpandangan bahwa untuk memantapkan fakta-fakta ilmiah metode induktif memadai. Cara pengikisan pondasi hal-hal yang sebelumnya dianggap pengetahuan ini merupakan metode skeptis yang khas dalam filsafat.

Skeptisisme Hume mengenai pandangan umum bahwa ada hubungan-niscaya antara sebab dan akibat mengangkat secara tersirat dua tantangan, yang satu lebih tertuju pada ilmuwan, dan yang lain lebih tertuju pada filsuf. Kalau Hume benar, idenya itu menantang ilmuwan untuk memilih antara dua alternatif: mendapatkan metode ilmiah yang lebih cocok daripada induksi atau, kalau tidak, menghentikan gagasan bahwa ilmu bisa mencapai tujuan kepastian. Bahwa pilihan ini disiratkan oleh skeptisisme Hume mestinya cukup jelas, terutama bila kita lihat kembali Gambar IV.2b dengan mempertimbangkan argumen Hume sebagai berikut:

Bukti Bukti

celah

ketidak- ide hubungan-niscaya

pastian Simpulan Pasti

Gambar VII.5: Ketidakpastian Pengetahuan Induktif

Tentu saja, para filsuf-ilmu lebih sering menanggapi tantangan ini daripada para ilmuwan. Salah satu tanggapan menyiratkan bahwa Hume itu benar dalam menolak kepastian pengetahuan induktif, tetapi mengklaim bahwa pada faktanya, metode yang diikuti oleh ilmuwan terutama bukan induktif melainkan deduktif. Karl Popper, misalnya, mengemukakan bahwa pada aktualnya ilmuwan tidak berawal dengan observasi telanjang, tetapi dengan hipotesis yang berfungsi seperti premis deduksi. Ilmuwan mengasumsikan hipotesis ini, lalu mengujinya dengan mencoba “membuktikan kesalahan”-nya melalui berbagai eksperimen. Induksi saja takkan memungkinkan ilmuwan untuk mencapai simpulan faktual; namun deduksi dan induksi bersama-sama mampu melakukannya. Salah satu tangggapan lainnya sepakat dengan Hume saja, sehingga para ilmuwan tidak perlu memandang tugas mereka sebagai pencarian kepastian. Umpamanya, Paul Fayerabend mengemukakan bahwa, daripada mencari sebuah teori ilmiah yang sempurna, para filsuf dam ilmuwan lebih baik mendorong pengembangbiakan teori: semakin berbeda teori-teori ilmiah, semakin baik teoeri-teori itu—kendati tampaknya berlawanan satu sama lain. Filsuf-filsuf telah berupaya mengabsahkan ilmu dengan begitu banyak cara lain sehingga keterangan yang lebih penuh ada di luar ruang lingkup matakuliah ini.

Tantangan filosofis yang lebih keras yang timbul dari skeptisisme Hume adalah mencari jalan untuk membela induksi dengan satu dari dua cara: [1] mengambil prinsip yang bukan hubungan-niscaya atau [2} menyerang argumen Hume dengan lebih terarah dan memperagakan bahwa bagaimanapun, ide hubungan-niscaya itu maknawi. Hume sendiri pada aktualnya memburu sesuatu yang menyerupai alternatif pertama. Ia mengakui bahwa suatu penjelasan harus diberikan terhadap rasa pengharapan kita bahwa hal-hal akan terjadi di masa mendatang seperti yang terjadi pada masa lampau. Secara demikian, ia mengemukakan bahwa perasaan ini, yang tampaknya menutup “celah” antara bukti dan simpulan dengan argumen induktif (lihat Gambar VII.5), pada aktualnya tidak lain merupakan hasil dari “kelaziman” atau “kebiasaan”:

But there is nothing in a number of instances, different from every single instance, which is supposed to be exactly similar; except only, that after a repetition of similar instances, the mind is carried by habit, upon the appearance of one event, to expect its usual attendant, and to believe that it will exist. This connection, therefore, which we feel in the mind, this customary transition of the imagination from one object to its usual attendant, is the sentiment or impression from which we form the idea of power or necessary connection. Nothing farther is the case. Contemplate the subject on all sides; you will never find any other origin of that idea. (EHU §VII, Part II)

(Namun di sejumlah contoh yang dikira sama persis, berbeda dengan setiap contoh secara sendiri-sendiri, tiada sesuatu selain bahwa selepas pengulangan contoh serupa pada tampilnya sebuah peristiwa, benak itu hanya terbawa oleh kebiasaan untuk menduga penyerta-lazimnya dan untuk meyakini bahwa [penyerta] ini akan ada. Karena itu, hubungan transisi imajinasi [secara] tradisional dari satu obyek ke penyerta-lazimnya yang kita rasakan di benak ini adalah sentimen atau kesan yang merupakan pangkal pembentukan ide kita tentang daya atau hubungan-niscaya. Tiada yang lebih daripada hal itu. Renungkanlah pokok-pembicaraan ini pada semua segi; takkan anda dapati sama sekali asal-usul ide tersebut.) (EHU §VII, Bagian II)

Dengan kata lain, bilamana kita alami obyek-obyek dengan cara yang pasti, kita bayangkan bahwa cara ini niscaya, dan sehingga kita duga mengalaminya lagi dengan cara yang sama. Kita menduga, dan bahkan merasa “pasti” bahwa esok matahari akan terbit di timur, kendati tiada landasan faktual sama sekali bagi kepastian nyata, tetapi hanya bagi penimbangan kemungkinan berdasarkan kebiasaan yang kita kembangkan dari pengalaman masa lalu.

Kita bisa membela jawaban Hume terhadap tantangannya sendiri dengan mencatat bahwa pada faktanya, beberapa orang tidak menduga matahari terbit di timur! Umpamanya, di kutub utara dan selatan ada waktu-waktu tertentu setiap tahun manakala matahari tak pernah terbit atau tak pernah tenggelam. Contohnya, sebetulnya saya lahir di Alaska barat-laut pada dini hari suatu musim panas. Ayah saya mengatakan bahwa ia berjalan ke rumah dari rumah sakit pada pukul 2 pagi itu, dengan menyaksikan matahari tenggelam di utara. Beberapa jam kemudian matahari itu terbit lagi, agak ke timur, tetapi masih di utara terutama. Jadi, contoh khas matahari yang terbit di timur juga melukiskan bahwa yang tampaknya merupakan simpulan yang masuk akal (“Matahari selalu terbit di timur”) pada aktualnya bisa beralih menjadi didasarkan pada kebiasaan kita dalam memandang alam dari perspektif pengalaman masa lalu kita yang terbatas. Baru tatkala kita dikejutkan oleh penemuan pengecualian yang tak terduga, kita menyadari pengaruh kebiasaan kita pada hal-hal yang kita yakini kebenarannya.

Akan tetapi, Kant amat kecewa dengan cara penjelasan Hume tentang perasaan kita bahwa fenomena-fenomena saling berkaitan dengan cara yang niscaya. Karena itu, ia mengambil jalan kedua dalam menanggapi tantangan tersebut. Kant sepakat dengan Hume mengenai pentingnya pengakuan hubungan-niscaya sebagai tapal batas antara yang bisa dan yang tidak bisa diketahui oleh ilmu; namun ia menolak klaim Hume bahwa semua pengetahuan harus salah satu dari matematis dan observasional. Menurut Kant, tipe pengetahuan ketiga, yang disebut “transendental”, adalah sintetik dan sekaligus apriori—yaitu diungkap dengan proposisi yang niscaya benar, tetapi keniscayaannya ini tidak hanya berasal dari logika (lihat Kuliah 11). Alih-alih, tipe ini merupakan tipe khas pengetahuan filosofis. Siapa saja yang menerima garpu Hume dalam pengertiannya yang paling terbatas akan mendapati bahwa [garpu] tersebut akhirnya mengeluarkan filsafat itu sendiri dari alam pengetahuan yang laik diperhatikan! Namun bila kita akui bahwa garpu Hume berfungsi sebagai pondasi mitologis bagi sistemnya, kita akan bebas untuk menggantinya dengan mitos alternatif yang lebih tepat, seperti mitos “Copernican” Kant, bahwa benak itu menimpakan kondisi apriori sintetik tertentu pada obyek apa pun dalam proses menuju pengetahuan tentang obyek tersebut.

Kant menanggapi skeptisisme Hume dengan beragam cara; namun tanggapannya yang paling berpengaruh muncul dalam teorinya tentang “prinsip-prinsip pemahaman murni”. Ia mengemukakan, prinsip-prinsip itu eksis di benak, namun menentukan corak pengalaman kita sebagaimana adanya. Salah satu prinsip yang dipertahankan oleh Kant dengan cara ini adalah sama dengan yang telah ditolak oleh Hume lantaran perasan belaka, yang didasarkan pada cara lazim penafsiran kita terhadap pengalaman masa lalu kita: ide hubungan-niscaya. Kant membela prinsip ini pada salah satu seksi dari Kritik pertamanya yang berjudul “Second Analogy”, dengan menyebutnya “prinsip rentetan waktu, sesuai dengan hukum kausalitas” (CPR 218). Prinsip ini menyatakan: “Semua perubahan berlangsung seirama dengan hukum hubungan sebab-akibat.” Ia mengetengahkan serangkaian argumen rumit yang saling berkaitan dalam mempertahankan prinsip ini—terlalu rumit bagi kita untuk diperiksa di sini. Namun demikian, kita bisa mendapatkan pandangan umum tentang bagaimana ia berargumen dengan mengutip sebuah paragraf dan memeriksanya dengan agak lebih rinci.

Kant dan Hume keduanya setuju bahwa kita mempunyai pengalaman, tetapi mereka tidak sepakat atas siratan pengalaman subyektif kita mengenai alam obyektif. Hume mengemukakan bahwa pengalaman subyektif kita cuma “bundel persepsi”, yang sedikit atau tidak menyiratkan kenyataan obyektif. Adapun Kant mengemukakan bahwa “kita harus mengambil rentetan subyektif penangkapan dari rentetan obyektif penampakan”; kalau tidak, mustahil dijelaskan mengapa kita mencerap atau “menangkap” serangkaian peristiwa dalam urutan tertentu atau dalam sekelompok obyek yang berbeda satu sama lain (CPR 221). Dengan kata lain, pengalaman subyektif kita dimungkinkan hanya [jika berdasar] pada asumsi bahwa [pengalaman subyektif] itu “turun” ke suatu kenyataan obyektif. Dengan pikiran tersebut, Kant menyusun argumen berikut ini:

If, then, we experience that something happens, we in so doing always presuppose that something precedes it, on which it follows according to a rule. Otherwise I should not say of the object that it follows. For mere succession in my apprehension [as in Hume's theory of "habit"], if there be no rule determining the succession in relation to something that precedes, does not justify me in assuming any succession in the object. I render my subjective synthesis of apprehension objective only by reference to a rule, in accordance with which the appearances in their succession, that is, as they happen, are determined by the preceding state. The experience of an event [i.e., of anything as happening] is itself possible only on this assumption. (223)

(Maka, jika kita alami bahwa sesuatu terjadi, kita dalam melakukannya selalu memprakirakan bahwa sesuatu mendahuluinya, yang diikuti olehnya menurut suatu aturan. Kalau tidak, saya tidak bisa menebak obyek yang diikuti olehnya. [Ini] karena jika tiada aturan yang menentukan rentetan itu sehubungan dengan sesuatu yang mendahuluinya, [maka] rentetan belaka yang saya tangkap [sebagaimana dalam teori Hume tentang “kebiasaan”] tidak membuktikan kebenaran rentetan apa pun yang saya asumsikan di obyek tersebut. Saya hanya mengobyektifkan sintesis pemahaman subyektif saya dengan mengacu pada suatu aturan yang menyesuaikan rentetan penampakan-penampakan, sebagaimana terjadinya, menurut keadaan pendahulu. Pengalaman suatu peristiwa [yaitu terjadinya sesuatu] dimungkinkan hanya [jika berdasar] pada asumsi tersebut.) (223)

Jika argumen Kant itu benar, maka prinsip bahwa ada hubungan-niscaya antara sebab dan akibat pasti benar, meskipun kita tidak bisa menggunakan observasi atau pun penalaran matematis untuk membuktikannya.

Tipe argumen itu kemudian terkenal sebagai “argumen transendental”. Bentuk umum argumen semacam itu ialah:

Supaya terjadi pengalaman, p pasti benar.

Saya, sekurang-kurangnya, memiliki pengalaman.

Oleh sebab itu, p pasti benar.

Hume takkan menyangkal premis kedua; jadi, satu-satunya tangkisannya adalah premis pertama. Adakah sesuatu yang pada kenyataannya pasti benar supaya, bagi pengalaman kita, dimungkinkan sepenuhnya? Kalau begitu, maka kebenaran-kebenaran itu, secara bersama-sama, menetapkan garis tapal batas antara yang bisa dan yang tidak bisa diketahui. Bolehjadikah, misalnya, membayangkan sejenis pengalaman yang tidak menghajatkan kita untuk memprakirakan bahwa bagaimanapun kita ditentukan oleh sesuatu yang terjadi pada suatu waktu di masa lalu? Kant yakin bahwa dalam kasus semacam ini, klaim bahwa kita memiliki pengalaman apa pun tidak akan dibenarkan. “Pengalaman” di sini mengacu pada kesadaran akan “rentetan subyektif” dalam pencerapan kita; dan kalau tiada pula “rentetan obyektif”, maka tiada landasan untuk menangkap rentetan subyektif kita. Dengan kata lain, mendalihkan “kebiasaan” itu tidak relevan, karena tanpa rentetan obyektif sebagai basis bagi “kebiasaan” kita, kita juga tidak mungkin sadar akan kebiasaan-kebiasaan itu.

Sebagian dari kalian barangkali agak bingung pada saat ini. Itu tidak mengejutkan, lantaran argumen-argumen yang kita ulas tersebut tergolong usulan yang paling sulit dari filsuf-filsuf. Para filsuf profesional yang menelaah Hume dan Kant sepanjang hayat mereka masih berdebat tentang bagaimanakah menafsirkan pandangan mereka dan yang manakah yang memberi paparan yang lebih baik tentang bagaimana sebenarnya dunia ini. Jadi, kita tak usah berharap untuk menempatkan pertanyaan tersebut secara definitif pada matakuliah pengantar! Namun bagaimanapun, dengan harapan menjernihkan hal-hal yang meliputi pandangan masing-masing dan, barangkali pada saat yang sama, membantu anda membulatkan tekad anda mengenai manakah yang lebih dekat dengan kebenaran, saya hendak melakukan sedikit “eksperimen-pikiran”.

Bayangkanlah bahwa anda baru saja merampungkan semua kuliah anda seharian. Anggap saja anda tinggal di Shatin, seperti saya; maka, anda berjalan kaki menuju halte bus terdekat dan menunggu bus di sana. Sehabis beberapa menit saja, bus yang biasanya anda tumpangi tiba. Bus itu berpenumpang penuh; namun sopirnya, orang ramah yang telah anda kenal, menghentikan bus untuk memungkinkan anda naik. Kendati satu-satunya tempat bagi anda adalah berdiri dengan kikuk di samping si sopir, anda begitu mencintai filsafat sehingga anda segera membuka buku yang sekarang ini anda baca dari daftar Bacaan Anjuran, dan mulai membaca. Lalulintas tidak terlalu tersendat-sendat, sehingga sesudah satu atau dua menit saja bus itu memasuki terowongan Lion Rock Tunnel, pada jalur menuju Shatin. Anda hampir tidak memperhatikan hal ini, karena begitu asyik dalam berfilsafat. Lalu tiba-tiba anda merasa bus itu berhenti. Mula-mula anda terus membaca saja, dengan menganggap bahwa pasti ada kemacetan di lalulintas terowongan tersebut. Namun sesudah beberapa menit, anda mulai penasaran mengapa bus itu masih belum beranjak. Lantas anda berpaling dari buku anda untuk melihat kalau-kalau anda bisa mengetahui penyebab penangguhan. Anehnya, tidak ada kendaraan di depan bus; dan sopir bus itu masih duduk seperti sediakala, dengan tangannya di atas setir kemudi dan kakinya di atas pedal, seakan-akan ia masih mengemudi!

Apa yang akan anda lakukan dalam kejadian semacam itu? Dugaan saya adalah bahwa, dengan adanya penangguhan yang cukup lama, akhirnya anda akan meminta sopir bus untuk menjelaskan mengapa ia menghentikan bus. Nah, mari kita bayangkan bahwa ia menjawab anda dengan mengatakan “Saya tidak menghentikan bus” (atau ungkapan serupa dalam bahasa Kanton). Barangkali anda akan menanggapinya dengan mengatakan “Kalau begitu, lebih baik anda mencari bantuan, karena bus ini pasti mengalami kerusakan mesin.” Namun sopir itu menukas: “Tidak, mesinnya berjalan dengan baik. Dengarlah!” Dengan cukup yakin, anda kemudian memperhatikan bahwa deru suara mesin itu sama biasanya dengan ketika bus melewati terowongan dengan kecepatan normal. Saya rasa anda akan agak kebingungan; namun sesaat kemudian, terutama bila anda akan terlambat untuk menghadiri perjamuan, anda akan kembali mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam: “Lantas, kalau anda tidak menghentikan bus, siapa yang melakukannya? Tuhan? Atau hantu?” Jika sopir itu lalu menjawab: “Tidak. Tentu saja tidak. Berapa kali harus saya katakan kepada anda, tiada yang menghentikan bus”, maka sebagian besar dari kita, saya kira, akan mengatakan, atau sekurang-kurangnya memikirkan, sesuatu seperti: “Lihat, tidak ada orang yang menghentikan bus ini dengan sengaja, tidak ada kerusakan mesin, padahal bus-bus tidak berhenti begitu saja tanpa alasan sama sekali!

Saya penasaran bagaimana tanggapan anda jika sopir bus itu menjawab klaim ini dengan menukas: “Ah! Anda hanya merasakan cara itu karena kebiasaan yang anda kembangkan selama bertahun-tahun tinggal di Hong Kong, mengira bahwa bus-bus tidak berhenti di terowongan berpolusi bila tiada alasan. Pada kenyataannya, bus-bus itu dapat dan memang beberapa kali berhenti tanpa alasan; hanya saja inilah pertama kalinya anda mengalami suatu pengecualian terhadap ekspektasi lazim anda.” Jika kemudian sopir itu berpaling dan duduk kembali dalam posisi mengemudi, seolah-olah tidak ada yang aneh, saya kira sebagian besar dari kita akan mencoba keluar dari bus itu secepat mungkin! Mengapa? Kita semua akan menganggap sopir ini bercanda secara sangat konyol (atau mungkin berbahaya) dengan penumpangnya, atau menganggapnya gila!

Kita semua (bahkan juga para fisikawan yang yakin bahwa tiada sebab di belakang pergerakan partikel-partikel sub-atomik) biasanya mengasumsikan bahwa apa saja yang kita lihat dan alami dalam kehidupan kita sehari-hari disebabkan oleh sesuatu. Keajaiban pun merupakan peristiwa yang disebabkan, karena ini merupakan peristiwa yang diyakini disebabkan oleh Tuhan. Begitu pula, orang-orang yang hidup di dalam suku-suku primitif menganggap secara alamiah bahwa apa saja yang terjadi merupakan kejadian yang disebabkan, barangkali oleh suatu roh atau dewa. Jika kita tidak membuat sejenis asumsi kausal, kita tidak akan mampu berfungsi di masyarakat manusia mana pun. Kalau pandangan Kant benar, kita juga tidak mampu untuk menyadari pengalaman subyektif kita sendiri. Namun perlu dipahami bahwa prinsip Kant itu transendental, sedangkan “kebiasaan” Hume empiris. Itu berarti dua pandangan tersebut bukan niscaya tidak serasi, asalkan kita menolak prasangka sempit tentang garpu Hume. Pada akktualnya Hume benar manakala ia mengatakan tiada jalan untuk mengamati atau menghitung jalan kita menuju suatu pemahaman tentang hubungan-niscaya. Argumen Kant menunjukkan bahwa kekeliruan Hume ialah mengabaikan garis tapal batas transendental antara keduanya, lantaran itulah rumah hubungan-niscaya yang sejati, dan begitu pula pengabsahan terbaik yang bisa ditilik oleh ilmuwan tatkala mempertahankan penggunaan metode induktifnya.

Walau anda tidak teryakinkan oleh argumen-argumen Kant, atau oleh eksperimen-pikiran tadi, untuk mempercayai bahwa prinsip kausalitas, atau hubungan-niscaya, merupakan syarat transendental untuk memungkinkan pengalaman, saya harap anda akan setuju mulai sekarang bahwa pandangan semisal pandangan Hume, sendirian, merongrong kebolehjadian ilmu. Bisa-bisa tiada fakta obyektif bila segala sesuatu bergantung pada kebiasaan subyektif kita sendiri. Saya kira sebagian besar dari kalian bisajadi setuju bahwa kebiasaan belaka belum cukup baik. Ada sesuatu yang mutlak mengenai ide kita tentang hubungan-niscaya antara sebab dan akibat, sesuatu yang tampaknya hampir tak tertanyakan! Kebetulan, fakta bahwa Hume tidak menyetujuinya itu tidak membuktikan bahwa ide tersebut “relatif”; teori Hume bisa tidak benar!

Di sisi lain, jika kita terima argumen Kant dan menganggap segala hal yang terjadi ditentukan oleh sesuatu yang terjadi sebelumnya, muncul masalah baru: Bagaimana kita bisa menjelaskan perasaan kita, manusia, bahwa kita bebas? Jika segala sesuatu di alam ini ditentukan, apakah ini berarti kita harus mencampakkan keyakinan kita kepada kebebasan manusia? Itu akan menimbulkan masalah besar dengan adanya pertalian yang erat antara kebebasan dan kealiman (lihat Kuliah 19). Di sini filsafat ilmu langsung menghadapi salah satu pertanyaan inti pada cabang filsafat terapan yang akan kita panjat di kuliah mendatang, cabang filsafat moral. Di situ akan kita dapati sejauh mana pencarian kita terhadap kealiman bisa menyebabkan kita menerima determinisme ilmu dan sekaligus kebebasan tindakan moral.

Pertanyaan Perambah

1. A. Apa perbedaan antara batas dan tapal batas?

B. Mungkinkah [kita] bebas dari semua batasan?

..............................

..............................

2. A. Apakah langit merupakan tempat?

B. Dari manakah wawasan berasal?

..............................

..............................

3. A. Bagaimana kita [merasa] pasti akan ketidakpastian kita sendiri?

B. Bagaimana kebiasaan metafisis berbeda dengan kebiasaan awam?

..............................

..............................

4. A. Adakah fakta subyektif?

B. Bisakah kita memiliki pengetahuan tentang peristiwa yang tidak disebabkan?

..............................

..............................



Bacaan Anjuran

1. Richard Bach, Jonathan Livingston Seagull (JLS).

2. Daniel N. Robinson, “Wisdom through Ages”, Bab 2 dalam Robert J. Sternberg (ed.), Wisdom: Its nature, origin, and development (New York: Cambridge University Press, 1990), pp. 13-24.

3. Jostein Gaarder, Sophie’s World, terj. P. Møller (New York: Farrar, Strauss & Giroux, Inc., 1994[1991]).iv[4]

4. John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science (Oxford: Oxford University Press, 1980).

5. David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, §VII, “On the Idea of Necessary Connection” (EHU 62-85).v[5]

6. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, “Second Analogy” (CPR 218-233).vi[6]

7. Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1972).

8. Paul Feyerabend, Against Method: Outline of an anarchistic theory of knowledge (London: Verso, 1978).

Catatan Penerjemah



i[1] Tentang hakikat “cinta”, lihat Kuliah 30.

ii[2] Untuk menghindari kesalahpahaman akan makna “kesempurnaan”, perhatikan tapal batas yang bisa kita capai sebagaimana yang, umpamanya, terlukis pada Gambar VIII.2.

iii[3] arbor philosophicus” ialah istilah Latin yang berarti “pohon filsafat”.

iv[4] Edisi Indonesianya berjudul Dunia Sophie: Sebuah novel filsafat (Bandung: Mizan, 1996).

v[5] Untuk alternatif, lihat http://www.utm.edu/research/hume/wri/1enq/1enq-7.htm

vi[6] Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/cpr/anpri.html


C A B A N G

Filsafat bertanya tentang seluruh kenyataan, tetapi selalu salah satu segi dari kenyataan yang sekaligus menjadi titik fokus penyelidikan kita. Filsafat selalu bersifat "filsafat tentang" sesuatu tertentu, misalnya: filsafat tentang manusia, filsafat alam, filsafat kebudayaan, filsafat seni, filsafat agama, filsafat bahasa, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pengetahuan, dan seterusnya.


Aristoteles mengadakan pengelompokan sebagai berikut:

  • Sejarah logika, yaitu ajaran tentang kategori, pengambilan kesimpulan dab pembuktian serta topika yaitu dialektika,

  • Ilmu-ilmu pengetahuan alam, berisi antara lain tentang fisika, langit, meteorologi, jiwa, binatang,

  • Etika,

  • Politik,

  • Bahasa dan seni.

Cassidorus menyebut tujuh macam seni liberal, yaitu:

  • Trivium, terdiri atas Gramatika, Logika, Retorika, dan

  • Quadrivium yang terdiri atas Ilmu hitung, Ilmu Ukur, Astronomi dan Musik.

Kant (Stroriq, 1972) di dalam Kritik-nya Terhadap Rasio Murni mengadakan pembagian sebagai berikut:

  • Bagian pertama berisi ajaran elementer yang transendental,

  • Bagian kedua berisi ajaran transendental tentang metode.

  • Ajaran elementer tersebut dibagi lagi menjadi estetika transendental, yang membicarakan tentang kemampuan inderawi dan logika transendental yang membicarakan tentang kemampuan berpikir. Logika dibagi lagi menjadi analitika transendental dan dialektika transendental. Selanjutnya dalam Kritik-nya Terhadap Rasio Yang Praktik ia banyak membicarakan tentang Etika dan Religi.

Di dalam bukunya, Perspectives in Social Philosophy (1967), Beck (1967) menyebut lapangan filsafat, yaitu:

  • Epistemologi atau filsafat pengetahuan. Yang dibicarakan antara lain adalah sumber, kriteria, dan hakikat pengetahuan.

  • Metafisika atau teori tentang realitas. Yang dibicarakan antara lain segala sesuatu yang ada, hekikat realita, prinsip pemahaman kosmos.

  • Ilmu pengetahuan normatif, yang terdiri atas etika, estetika dan filsafat ketuhanan.

Demikian seterusnya terdapat jenis penggolongan cabang-cabang filsafat. Katsoff dalam bukunya Elements of Philosophy mengadakan penggolongan sebagai berikut:

  • Logika, membicarakan tentang hukum-hukum penyimpulan yang benar.

  • Metodologi, membicarakan tentang teknik atau cara penelitian.

  • Metafisika, membicarakan tentang segala sesuatu yang ada.

  • Ontologi, membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang ada.

  • Kosmologi. membicarakan tentang segala sesuatu yang ada yang teratur.

TERMINOLOGI FILSAFAT

... secara damai, apakah keduanya dapat bekerjasama atau bahkan saling bermusuhan satu sama lain. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan sebagai berikut:

Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.

Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.

Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:

  • Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.

  • Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.

  • Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.

  • Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.

Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati. Misalnya:

  • Aristoteles:

    • Manusia adalah animal rationale.
      Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia

      • Tumbuhan = benda mati + hidup ----> tumbuhan memiliki jiwa hidup

      • Binatang = benda mati + hidup + perasaan ----> binatang memiliki jiwa perasaan

      • Manusia = benda mati + hidup + akal ----> manusia memiliki jiwa rasional

    • Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial.

    • Manusia adalah "makhluk hylemorfik", terdiri atas materi dan bentuk-bentuk. Berikutnya...

TERMINOLOGI

  • Ernest Cassirer: manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.

Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap rasio yang murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya, tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak menambahkan suatu kepercayaan baru. Bertrand Russel mencatat August Comte pernah mencobanya, namun ia gagal. "Dan ia patut bernasib demikian," demikian Russel.

Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.

Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama adalah tidak rasional. Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini.

Dengan cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.

Demikianlah pemahaman yang kita miliki sekarang mengenai terminologi "filsafat" dan kedudukannya di antara ilmu dan Agama.