Jumat, 31 Agustus 2007

KORUPSI

" MEMUTUS RANTAI KKN "

Oleh :

Junet Haryo Setiawan

(Refleksi kritis terhadap penerimaan CPNS Ponorogo)


"Sulit untuk menghapuskan korupsi di Indonesia, karena korupsi sudah menjadi budaya, bukan budaya manusia melainkan budaya kekuasaan."


Pernyataan di atas seakan melegitimasi sikap skeptis masyarakat Indonesia atas pemberantasan korupsi. Kerusakan sistem yang memberikan ruang dan peluang praktek KKN sekaligus membentuk kultur kekuasaan yang cenderung korup terjadi karena tidak terbangunnya kesadaran bernegara atas pentingnya asas efisiensi. Suap menyuap, sogok menyogok (baca: uang pelicin) dalam setiap seleksi CPNS merupakan bagian kecil dalam praktek KKN walau dampaknya secara finansil masih kurang dibandingkan dengan bentuk korupsi seperti penyimpangan dana nonbujuter BULOG, PLN, kebocoran anggaran di pertamina atau penyimpangan dana BLBI yang merugikan keuangan negara milyaran bahkan sampai trilyunan rupiah, tapi sudah menjadi ladang subur bagi pejabat di daerah di samping bentuk korupsi lainnya seperti "pemerasan" bagi setiap usaha menggolkan anggaran setiap rapat penentuan APBD di Dinas Pemerintahan Daerah.

Di tengah usaha pemberantasan KKN, tak jarang sering terjadi praktek penyalahgunaan jabatan di lingkungan departemen-departemen yang berbasis keagamaan, social, sebuah institusi yang seharusnya menjalankan peran dan menjadi simbol penegakan moral dan etika seakan menjadi tercoreng akibat tindakan salah seorang oknum yang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya untuk kepentingan pragmatis kerabat, anak dan keluarganya. Skandal (gate) semacam ini telah lama menjadi bahan perbincangan dan tidak hanya terjadi pada saat seleksi rekruitmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan bahkan mungkin juga dilakukan oleh orang yang sama.

Praktek di atas di samping bernuansa adanya ketidakadilan juga menimbulkan sikap pesimistis bagi setiap pelamar untuk bersaing secara fair untuk memperebutkan kursi pekerjaan tentunya hal tersebut bukannya tanpa alasan kuat karena terbukti pada setiap pengumuman selalu yang lulus ujian didominasi oleh orang yang memiliki jaringan koneksitas dan uang yang banyak. Sudah menjadi rahasia umum kalau untuk masuk menjadi PNS harus menyediakan minimal sepuluh juta rupiah dikali banyaknya pintu yang harus dilewati. Tapi sekali lagi asumsi tersebut tidak bisa dibuktikan secara hukum apakah terjadi praktek penyalahgunaan jabatan apabila tidak ada usaha dari setiap orang untuk melakukan penyidikan.

Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjelaskan bahwa korupsi adalah : "Perbuatan setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”. Pada pejabat pemerintah biasanya terdapat unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Sedangkan Nepotisme sendiri adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya (teman dekat yang biasa bekerjasama saling menguntungkan) di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Jadi praktek di atas tergolong salah satu bentuk korupsi dan nepotisme karena dengan jabatan yang dimiliki meluluskan anggota keluarganya menjadi Pegawai Negeri Sipil jika terbukti hasil ujian CPNS terdapat nama yang lulus dengan cara tidak wajar. Dari berbagai data dapat dianalisa bahwa sangat tidak memungkinkan dengan mekanisme ujian yang semrawut dapat sesuai dengan standar prosedur operasional yang diinginkan. Alasan utama yang berkaitan dengan hal di atas, Pertama, tidak adanya parameter yang jelas yang dapat menjadi ukuran kelulusan seseorang karena hasil berkas ujian tidak diperlihatkan kembali pada CPNS. Jadi ini berkaitan dengan adanya ketidak transparansian panitia ujian. Kedua, dengan didapatnya salah satu atau lebih peserta yang lulus ujian dengan jalan penjokian merupakan alasan kuat bahwa lemahnya ketelitian pada proses registrasi ujian sampai dengan pengawasan pada saat berlangsungnya ujian. Ini menandakan bahwa ada ketidakberesan dalam melakukan mekanisme ujian.


Keterlambatan Proses Hukum dan Pengungkapan Kasus KKN

Terbitnya TAP MPR No.VIII/MPR/2001 menunjukkan bahwa persoalan pemberantasan dan pencegahan KKN telah menjadi agenda nasional yang sangat urgen bagi pemulihan sektor-sektor lain. Lambatnya tindakan pemberantasan dan pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang menjadi amanah reformasi dan syarat terciptanya good governance dan clean government menjadi sesuatu yang mustahil mengembalikan kepercayaan masyarakat (public trust) bagi upaya penegakan hukum (law inforcement). Ini disebabkan banyaknya kendala yang dihadapi bagi percepatan proses hukum terhadap pelaku praktik KKN dan pengungkapan kasus-kasus KKN.

Faktor yang menyebabkan lambatnya pemberantasan dan pencegahan KKN tersebut oleh adanya situasi yang membuka peluang terjadinya KKN, yang pada dasarnya adalah karena kurang jalannya fungsi pengawasan dan sanksi yang disebabkan oleh beberapa hal seperti; pertama, kurang memadainya sistem akuntabilitas organisasi pemerintah sehingga banyak sekali proyek-proyek yang dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proyek-proyek pembangunan tersebut dibuat hanya dengan tujuan agar pejabat maupun aparat pelaksananya memiliki proyek dan mendapatkan sebagian dari dana proyek tersebut; kedua, struktur Organisasi yang sangat birokratis yang menciptakan wewenang atau kekuasaan yang berlebihan dan tidak terkontrol; ketiga, kualitas perudang-undangan yang tidak memadai sehingga banyak celah-celah yang dimanfaatkan koruptor tanpa perlu khawatir dijerat oleh hukum; dan yang keempat, aparat penegak hukum yang korup; yang terakhir, kurangnya kontrol publik atau lemahnya partisipasi masyarakat.

Pengamat sosial, Mulyana W.Kusuma mengatakan implementasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan KKN perlu dijalankan secara tidak diskriminatif dengan memprioritaskan kasus-kasus yang mengakibatkan kerugian negara dengan nilai yang tinggi, serta dilaksanakan dengan rasionalitas hukum dan politik (bukan dramatisasi politik). Sementara itu, praktisi hukum Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan aparat penegak hukum terlebih dahulu harus bersih dari praktik-praktik KKN guna mempercepat dan menjamin efektifitas pemberantasan KKN.

Upaya pemberantasan KKN agaknya menjadi lebih mudah setelah dilaksanakannya amandemen UU No.31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang memasukkan sistem pembuktian terbalik untuk kasus suap, pemberian hadiah atau grativication. Dengan UU semacam itu seseorang dapat diajukan kepengadilan dan membuktikan dirinya tidak melakukan korupsi di depan pengadilan. Seperti UU Anti Korupsi Malaysia (Prevention of Coruption Act Malaysia) menerapkan sistem pembuktian terbalik, di mana UU tersebut menyatakan bahwa semua pemberian atau hadiah dianggap sebagai suap sampai terdakwa dapat membuktikan bahwa itu bukan suap. Jadi ada kemudahan untuk melakukan percepatan proses hukum tersangka dan mempermudah pengungkapan suatu kasus KKN.

Kembali pada kasus praktik KKN di lingkungan Kabupaten Ponorogo(pada proses penaringan CPNS) pengungkapannya tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena masih harus dibuktikan sejumlah nama yang disinyalir lolos melalui jalan koneksitas, atau suap. Proses pengungkapannya dapat dilakukan dengan jalan; pertama, adanya partisipasi publik dengan semakin banyak laporan tentang adanya pihak yang pernah menawarkan jasa dengan imbalan. kedua, dengan data peserta yang ikut tes harus diteliti kebenarannya apakah betul ada nama yang lulus karena berdasarkan nepotisme. ketiga, kemudian mengenai kasus joki bisa diketahui berapa orang yang melakukan hal serupa dengan cara mengkroscheck atau menyesuaikan data formulir dengan daftar hadir pada saat ujian, baik dilihat dari tulisan ataupun tanda tangan peserta. keempat, lembar jawaban bisa dibagikan sesuai dengan skala penilaian panitia pemeriksa hasil ujian sehingga peserta baik yang lulus maupun yang tidak, dapat mengetahui hasilnya. Dan yang kelima, ada respon cepat dari aparat penegak hukum yang juga bersih dari KKN untuk melakukan pengusutan terhadap kasus tersebut.

Yang terakhir adalah sistem atau mekanisme seleksi penerimaan CPNS di instansi manapun kemudian harus diratifikasi lebih ideal sehingga betul-betul dapat menekan dan menghilangkan peluang bagi siapa saja yang melakukan proses suap. Seperti setiap jawaban soal harus dikembalikan kepada peserta ujian sebagai bentuk transparansi publik. Hal ini diupayakan sebagai bentuk keseriusan semua pihak untuk memerangi KKN pada seleksi CPNS khususnya di daerah kita dan falsafah fairness dijunjung tinggi dalam semua elemen kehidupan.

Kasus di atas dapat dijadikan yang terakhir bila ada sanksi hukum yang menjamin bahwa setiap orang yang diberikan amanah berupa jabatan sesuai dengan sumpahnya tidak akan menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau golongan. Dukungan politik dan kontrol yang dijalankan masyarakat diharapkan mampu mereduksi bahkan mencabut akar korupsi di negara kita. Tulisan ini sebagai upaya untuk membangun partsipasi publik terhadap kontrol kekuasaan. Yakin usaha sampai

Penulis Adalah Mahasiswa S1

Akuntansi Universitas

Muhammadiyah ponorogo

& Ketua Umum HMI Cab. Ponorogo Komisariat Ekonomi UNMUH Ponorogo***





























Tidak ada komentar: