Jumat, 31 Agustus 2007

MOTIVASI POLITIK

KONFLIK PILKADA & PENDEWASAAN POLITIK

Oleh : JUNET HARYO SETIAWAN*


KONFLIK Pilkada yang mewarnai pada setiap pelaksanaan pemilihan kepala daerah, baik tingkat kabupaten maupun provinsi menunjukkan bahwa keDewasaan berpolitik masyarakat masih dipertanyakan. Beberapa persoalan dominan dalam melahirkan konflik pilkada adalah pada saat tahapan pilkada yang telah ditetapkan oleh KPUD mulai di implementasikan.

Diantara titik rawan yang menimbulkan konflik antara lain pada saat pendaftaran dan pendataan pemilih, pendaftaran dan persyaratan calon, distribusi kartu pemilih, rekapitulasi penghitungan suara dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya isu Money Politik. Untuk kasus terakhir merupakan kasus klasik yang sering muncul pada saat momentum pemilu dan cenderung sulit pembuktiannya.

Beberapa persoalan sebagaimana yang terurai diatas merupakan persoalan yang sebetulnya sudah muncul sebelum hari ‘H’ Pilkada dilaksanakan dan biasanya persoalan yang dimaksud dapat terselesaikan atau setidaknya telah mendapatkan solusi yang dapat dipahami bersama oleh para kontestan Pilkada, sehingga hari pencoblosan dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Namun pertanyaan yang muncul adalah mengapa persoalan tersebut kembali mencuat dan menguat pasca perhitungan perolehan suara dilaksanakan dan justru berusaha menggagalkan pengesahan pasangan calon terpilih?

Fenomena ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang perlu mendapatkan kajian, perhatian dan analisa mendalam untuk menemukan faktor yang sesungguhnya dan dapat mencarikan solusi yang terbaik demi lancar dan suksesnya proses politik lokal lima tahunan. Beberapa faktor dimaksudkan dapat terurai sebagaimana berikut : Pertama, bahwa Pilkada yang dilaksanakan kali ini merupakan Pilkada pertama yang dilaksanakan secara langsung. Sebagaimana diketahui bersama bahwa aturan yang mengatur bagi pelaksanaan Pilkada secara langsung ini diatur melalui UU.32. Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah No.6. tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dilihat dari tahun kelahiran regulasinya menunjukkan bahwa waktu yang disediakan untuk implementasi Pilkada relatif terbatas, belum lagi adanya bongkar pasang aturan yang kemudian melahirkan yudicial review terhadap beberapa pasal dalam PP. no 6 tahun 2005, yang kemudian melahirkan PP.No 17 tahun 2005 tentang perubahan terhadap PP. no. 6 tahun 2005 khususnya yang berkaitan dengan posisi DPRD dalam pelaksanaan Pilkada. Artinya dalam hal ini sesungguhnya regulasi Pilkada merupakan awal bagi lahirnya konflik.

Kedua, adanya sikap percaya diri yang berlebihan (over confidence) dari pasangan calon, bahwa dirinya akan menjadi pemenang dalam Pilkada yang diikutinya. Kenyataan ini menyebabkan pasangan calon dan team kampanyenya atau team suksesnya cenderung meremehkan terhadap setiap persoalan yang muncul khususnya selama tahapan pilkada dan sebelum penghitungan suara. Sikap pasangan calon yang demikian data dimaklumi, karena dengan sikap tersebut diharapkan dapat menarik simpati, empati dan memperoleh massiffikasi dukungan massa, sehingga, persoalan yang muncul pada saat sebelum hari’H’ Pilkada dapat terselesaikan dengan tuntas, bahkan tidak terlalu dipermasalahkan dan dianggap selesai.

Fakta bahwa pasangan calon menganggap persoalan selesai adalah dengan ditandainya kesepakatan bersama siap menang dan siap kalah dari pasangan calon yang berlaga di Pilkada.

Namun sikap tersebut menjadi berbalik manakala pasca pencoblosan diketahui dirinya kalah dalam penghitungan suara, maka mengungkit kembali persoalan yang semestinya selesai sebelum pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara, seolah menjadi sebuah keniscayaan. Bahkan persoalan yang sebetulnya tidak ada kaitannya dengan pengesahan pasangan calon yang menang pun dijadikan alasan untuk tidak mengesahkan pasangan calon yang menang dalam Pilkada.

Ketiga, posisi panitia pengawas (panwas) Pilkada yang dibentuk dan bertanggung jawab terhadap DPRD, merupakan problem tersendiri. Eksistensi panwas yang seharusnya independen menjadi terganggu karena proses pembemtukan dan alur pertanggung jawabannya yang rentan dengan konflik kepentingan. Realitas inilah yang dapat menjadi ‘sarang’ kecurigaan publik dalam pelaksanaan Pilkada, bahkan tidak jarang melahirkan istilah “wasit jadi pemain” manakala dalam pelaksanaannya tugas panwas cenderung mengabaikan independensi dan profesionalisme yang seharusnya ditampakkan..

Oleh karena itu, eksistensi panwas Pilkada yang di dalamnya melibatkan unsur kepolisian dan kejaksaan, hendaknya dapat memainkan peranannya sebagaimana telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan dan tidak terpengaruh dengan proses kelahirannya yang melalui ‘rahim’DPRD setempat. Sehingga terhadap persoalan yang mewarnainya, lembaga pengawas dapat memberikan penilaian yang obyektif dan menncari solusi yang terbaik bagi pemecahannya.

Keempat, eksistensi penyelenggara pilkada di semua tingkatan (KPU, PPK, PPS dan KPPS), sebagai ujung tombak keberhasilan pesta demokrasi lokal, memiliki tanggung jawab yang besar. Keberadaan lapisan penyelenggara hendaknya ditunjukkan dengan pola kerja yang profesional dan konstitusional. Sikap profesional dan konstitusional dalam konteks ini adalah bahwa penyelenggara Pilkada dapat menjaga independensinya dan mampu bekerja sesuai dengan rambu-rambu perundang-undangan yang telah mengaturnya.

Independensi penyelenggara yang dimaksud adalah bahwa penyelenggara Pilkada disamping memiliki hak individu untuk memilih, juga harus mampu melaksanakan tugas dan kewajibanya secara profesional dan juga proporsional. Bahwa pilihan pribadi tidak lagi berpengaruh dalam menjalankan tugas-tugas sebagai penyelenggara Pilkada yang harus independen. Oleh karena itu sikap disiplin dan menjalankan dan menaati aturan perundang-undangan serta regulasi-regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan Pilkada merupakan tolok ukur sikap independen dari penyelenggara pilkada. Dengan demikian, siapapun yang diuntungkan atau dimenangkan dalam Pilkada, bukanlah karena keberpihakan pribadi penyelenggara, melainkan karena memang aturan perundang-undangan yang memang mengharuskan seseorang tampil sebagai pemenang dalam kompetisi politik lokal lima tahunan.

Untuk menghindari adanya kecurigaan keberpihakan penyelenggara pilkada terhadap pasangan calon maka perlu dilakukan antisipasi-antisipasi sebelum oleh para stake holder Pilkada. Antisipasi dimaksud dapat dilihat dalam proses pembuatan regulasi Pilkada yang dikeluarkan oleh penyelenggara, apakah regulasi yang dihasilkan dan diputuskan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak. Demikian pula dalam proses pengamanan hasil penghitungan suara juga diperlukan perangkat pengamanan dri pasangan calon yang berlaga dalam Pilkada, salah satunya adalah dengan menghadirkan saksi-saksi yang berkualitas dan akuntabilitas mulai dari tingkat tps sampai dengan tingkat klabupaten (KPUD).

Dengan demikian setiap adanya penyimpangan dan kecurangan dapat terdeteksi dini dalam proses penyelesaiannya pun dapat dilakukan pada saat yang tepat, bukan sebaliknya proses penyelesaiannya dilakukan setelah proses penentuan dan penetapan calon terpilih. Ketika yang muncul persoalan dalam tahapan-tahapan Pilkada sebelum hari ‘H’ digugat pasca penetapan calon terpilih, akan memunculkan asumsi publik bahwa gugatan tersebut terjadi karena pasangan calonnya kalah. Asumsi tersebut, disamping akan mengurangi nilai objektifitas juga akan mencederai semangat siap menang dan siap kalah. Namun, bukan berarti bahwa mengajukan gugatan pasca perhitungan suara tidak diperbolehkan, karena pengajuan gugatan dalam Pilkada sudah diatur sedemikian rupa dalam regulasi pilkada. Akan tetapi akan lebih arif dan bijaksana, manakala persoalan yang muncul seblum hari pencoblosan dan sudah diselesaiakan secara kolektif antar pasangan calon yang ditandai dengan deklarasi siap menang dan siap kalah, hendaknya tidak diungkit kembali hanya sekedar memenuhi ambisi pribadi dalam memenangkan kompetisi. Kepentingan publik dan pembangunan daerah sudah semestinya menjadi yang utama dan bersama.

Sekali lagi ditekankan bahwa pengajuan gugatan dalam proses pilkada bukanlah larangan dan bukan merupakan hal yang tabu, karena semuanya telah diatur dalam perundang-undangan yang mengaturnya. Akan tetapi lebih Apik manakala dilakukan dengan cara-cara yang proporsional dan konstitusional serta menghindari sikap-sikap emosional yang melahirkan tidakan ilegal, sehingga mencederai proses demokrasi yang telah disepakati bersama. Bahwa demokrasi mensyaratkan adanya saling menghargai perbedaan pendapat dan mengedepankan kepentingan bersama, dimana semua itu akan terlihat dengan jelas ketika kompetisi politik berakhir dengan kemenangan bagi yang seharusnya menang dan menghormati kemenangan tersebut sebagai sebuah amanah yang terimplementasikan dengan penuh tanggung jawab. Juga mengakui kekalahan dan bersedia bekerjsama dengan yang menang merupakan harga yang mahal bagi pembelajaran demokrasi dan penDewasaan politik masyarakat. Dengan de,mikian demokrasi politik lokal akan menjadi tauladan bagi demokrasi nasional dan bahkan internasional.Semoga! YAKIN USAHA SAMPAI…



Junet Haryo Setiawan

Adalah Ketua Umum HMI Komisariat Ekonomi

UNMUH Ponorogo



Tidak ada komentar: