Jumat, 31 Agustus 2007

SETAN

SETAN DAN FITRAH KEMANUSIAAN

Oleh : Junet Haryo. S.


Setan (syaitan) adalah musuh manusia yang nyata (Q.S.2:208) demikian firman Tuhan ketika memerintahkan anak Adam mengikuti perintah-Nya (berIslam) secara sempurna. Problematika kemudian adalah dimaksudkan dengan istilah tersebut apakah sekedar menunjukkan makna konotatif ataukah denotatif. Pertanyaan demikian dikemukakan disebabkan beberapa hal, Pertama Tuhan dalam firman yang lain menegaskan bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan keragu-raguan yang kemudian menggelincirkan manusia melakukan kenistaan, berarti setan (Q.S.2:36, 114), kedua Tuhan mengutus pembawa risalah-Nya dengan menunjukkan bahwa penentang mereka adalah para setan yang terdiri dari jin dan manusia (Q.S. 6:112). Ketiga, dalam tata bahasa Arab istilah tersebut (setan) berarti pembangkang yang teramat angkuh dan sombong (Q.S. 2: 34) adalah "Syathana" yang bermakna jauh, menjauh.

Dengan pendekatan demikian, dalam tafsirnya Imam al Qurtubi menulis bahwa "syaitan" itu disebut "Syaithan" karena jauhnya dari kebenaran, dan karena membangkang terhadap kebenaran. Karenanya penggunaan makna setan baik secara denotatif maupun konotatif mengarahkan kepada pemahaman kita terhadap setiap penyombong lagi membangkang, baik dari jenis jin, maupun manusia ataupun binatang termasuk kebudayaan yang diciptakannya manakala jauh dari kebenaran dapat disebut sebagai "Syaitan". Dengan kedua makna inilah pengingkar kebenaran menjadi sasaran penyebutan yang tidak baik, atau dalam istilah kitab suci harus di rajam.

Kebenaran -hanief- itu sendiri dalam terminologi Islam merupakan kecendrungan yang hendak dituju setiap hati manusia yang fitrah (QS. 30:30). Karena kefitrahan inilah manusia kemudian bertentangan dengan setan sang pembangkang, serta lebih memilih kepada karya kemanusiaan yang menghamba kepada nilai-nilai ketuhanan -ketauhidan- yang berarti pula mendedikasikan amal perbuatannya kepada kebenaran yang mutlak, kebenaran yang terakhir sebagai tujuan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (QS. 51:56). Dalam pendekatan ini Cak Nur menggariskan bahwa fitrah kemanusiaan itu adalah bentuk utuh manusia yang secara asasi dan prinsipiil membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain.

Dengan kerangka demikian peristiwa "Idul Fitri" bukan saja diharapkan terjadinya saling memaafkan sesama manusia tetapi lebih dari itu adanya upaya setiap insan untuk kembali kepada fitrah kemanusiaannya. Konsepsi ini tidak saja mengarah kepada tuntutan atraktif dengan menggunakan aji mumpung "lebaran" sebagai momentum saling mengikhlaskan dan meridhokan segala kekhilafan dalam bentuk memaaf-maafkan, tetapi lebih dari itu kehendak gramatikal istilah tersebut -'Idul Fitri".

Konsep dasar makna 'Id berarti kembali, dalam pendekatan Quraish Shihab, kata tersebut bermakna kembali ke tempat atau keadaan semula. Ini berarti dengan peristiwa 1 Syawwal kondisi manusia harus berada pada titik nol kembali dimana rasa kemanusiaan yang sesuai fitrahnya mendominasi aktifitas keseharian. Pernyataan ini menunjukkan kepada kita sesungguhnya manusia telah keluar dari frame of work, way of life dan work view-nya. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam ajaran Islam mendeklarasikan bahwa asal mula penciptaan manusia adalah fitrah, yang kemudian kesucian tercemari oleh dosa dan noda, kotoran inilah yang kemudian menjauhkan dan memporak-porandakan keharmonisan manusia dari posisi semula. Baik kedekatannya terhadap Allah -hablum min Allah- maupun sesama manusia -hablum minannas.

Tingkat kedekatan dan jauhnya manusia ini, Tuhan pertontonkan misalnya saat Adam dan Hawa ditempatkan dalam Syurga seraya Tuhan memfirmankan larangannya kepada keduanya untuk menjauh dari pohon khuldi dengan menggunakan kata "ini" dalam firman "janganlah mendekati pohon ini " (QS. 2:35). Namun ketika keduanya melakukan dosa -dengan melanggar hukum tersebut- Tuhan memingatkan keduanya dengan batasan yang telah dititahkan-Nya dahulu dengan menggunakan kata " itu " dalam firman-Nya "…Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu ? " (QS. 7:22).

Terhadap ketentuan ini Quraish Shihab menyebutkan bahwa kesan pertama yang ditimbulkan ketika firman Tuhan menggunkaan kata "ini" adalah mengisayaratkan demikian dekatnya posisi mereka -Tuhan, Adam dan Hawa-, namun ketika terjadi pelanggaran Tuhan menyeru keduanya dengan kata itu yang berarti menginformasikan kepada kita bahwa posisi mereka telah berjauhan.

Dengan pendekatan ini tidak berarti ketika terjadi perbuatan dosa, manusia dan Tuhan menjauh selamanya, yang diinformasikan Qur'an justeru sebaliknya. Yaitu jika adanya upaya manusia kembali dengan kesadaran yang mengantarkan terjadinya pertobatan, maka Tuhan akan menerima dan bersama kembali dalam posisi semula -saling berdekatan. Penegasan ini secara demonstratif termaktub dalam ikrar-Nya " jikalau kamu kembali Kami pun akan kembali " (QS. 17:8), hal senada terungkap pula dalam QS. 2:37 dan QS. 2:186.

Dalam hubungan kemanusiaan, sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan manusia dengan kata al-insan berasal dari akar kata uns yang berarti senang atau harmonis. Dengan begitu kedekatan sesama manusia dapat disebut demikian manakala tercipta kembali suasana yang saling mendukung dan menghargai tanpa menyakiti siapapun untuk pencapaian tugas dan fungsi sebagai makhluk termulia dengan segala atribut yang melekat padanya.

Pemanfaatan momentum 'Idul Fitri' sebagai prosesi pertobatan yang diawali dengan adanya kesadaran dengan iklhas melakukan shaum Ramadhan -beserta dengan segala amalan sunnah di dalamnya- tidak saja akan mengantarkan manusia menjadi kembali pada posisi semula -dengan tanpa dosa dan noda- melainkan membukakan jalan bagi manusia menggapai derajat maqomam mahmuda -tempat yang mulia- yaitu al insan kamil -manusia sejati.

Bagi insan yang memiliki nilai kesejatiannya sebagai manusia hanya mungkin dapat terukur bukan semata ketika adanya kata memaafkan dalam suasana lebaran tetapi penilaian itu dibuktikan dengan adanya kegiatan-kegiatan kemanusiaan yang konkret (QS. 61:2-3) pasca transaksi pelebur an dosa dan noda saat lebaran.

Kepribadiaan sebagai al ins adalah individu yang memiliki kesadaran untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dalam arti yang sesungguhnya dan seluas-luasnya (QS. 29:6), yakni upaya sekuat tenaga dengan mencurahkan segenap pikiran dan waktu serta tenaga unutk kembali kepada kebenaran sebagai fitrah kemanusiaannya.

Jati diri sebagai manusai suci adalah menjalani irama kehidupan dengan tidak adanya keterpisahan antara kerja jiwa dan jasmani, antara agama dan politik, menempatkan eksistensi politik sebagai tempat pengabdian yang essensinya adalah sarana untuk mengungkapkan, menebarkan kasih sayang, kebaikan, keindahan, dan kebenaran (QS. 94:5). Manusia fitri adalah individu yang dapat memaafkan kepada musuhnya sekalipun dan terbuka serta bersedia menerima keberanan dari manapun datangnya dan siapapun pembawanya, toleran dalam arti sesungguhnya serta penahan amarah (QS. 3:123).

Karenanya atribut kefitrahan manusia yang utama setingkat di bawah kebutuhan akan sistem kepercayaan adalah adanya keikhlasan, yakni budaya untuk melakukan kerja kemanusiaan -termasuk memaafkan- bersumber pada kefitrahan rohani dan jasmani yang merupakan pancaran langsung dari kecendrungan al qlb yang suci dan mumrni (QS. 2:207).

Dengan demikian, ketidakmampuan manusia dalam mengimplementasikan nilai kemanusiaannya mengantarkan manusia menjadi mati sebelum hidup, mati suri, atau sebaik-baiknya manusia demikian akan menjadi mayat berjalan atau berubah fungsi menjadi manusia setan, -yakni individu yang mendedikasikan seluruh atau sebagian aktifitas kehidupannya kepada ketidakbenaran, ketidakadilan, kemungkaran serta sumber petaka dan keruskan lainnya (QS. 2:85), dalam terminologi al Qur'an manusia yang tidak menjadikan jati diri kemanusiaannya sebagai wujud kehadirannya tidak lain adalah kelompok individu yang amat sangat merugi (QS. 103) yang akan menempati tingkatan kediaman terendah baik dalam kehidupan saat ini maupun tangga kehidupan setelah kematian (QS. 95:5), yang dalam esksistensi-nya saja manusia tetapi karena essensi-nya adalah binatang melata bahkan lebih hina dari itu sehingga lebih layak menjadi penghuni alam kesengsaraan -neraka- (QS. 7:179), dan bukankah golongan penghuni neraka itu berinisial S E T A N ? ….

Akhirnya dengan momentum kajian kali ini, semoga kita kembali kepada essensi kemanusiaan yakni Hidup Fitrah. Dimana dengan pendekatan Nilai Dasar Perjuangan (NDP HMI) Hidup Fitrah berarti melakukan karya kemanusiaan -bekerja- secara ikhlas yang memancar dari hati nurani yang hanief atau suci.

S e m o g a ……!!!

Penulis Adalah Mahasiswa S1

Akuntansi Universitas Muhammadiyah ponorogo

& Ketua Umum HMI Cab. Ponorogo Komisariat Ekonomi UNMUH Ponorogo***

Tidak ada komentar: